Prophetic Leadership
Posted by
Noor Afif Fauzi
Dalam kajian filsafat sejarah, messianisme merupakan sebuah paham atau pandangan mengenai kedatangan seorang juru selamat yang akan membebaskan manusia dari penderitaan yang dialaminya. Dalam berbagai literatur-literatur agama, determinisme akhir tahapan kehidupan manusia ditandai dengan adanya seorang juru selamat akan hadir memimpin segenap umat manusia, mengakhiri segala macam tatanan despotisme yang ada sekarang, lalu kemudian menghadirkan tatanan menghadirkan tatanan baru yang adil dan bahagia.
Dalam ajaran Yahudi ada sosok Manahem, agama Nasrani mempercayai turunnya Isa al masih, dan Islam percaya akan datangnya Imam Mahdi sebagai sang penyelamat zaman. Tradisi peradaban lokal juga mempunyai sosok penyelamat ini seperti dalam kepercayaan jawa mengenai kedatangan Ratu Adil atau pun Satrio Piningit.
Selama proses penantian sang juru selamat, manusia hanya bisa menunggu dan menerima begitu saja dipimpin oleh pemimpin seadanya. Sehingga keadaan krisis, kemiskinan, ketidakadilan, kesengsaraan, serta berbagai bentuk dekandensi lain merupakan sesuatu yang natural karena memang pemimpin tersebut dianggap hanya sebagai pengisi posisi pemimpin sebelum pemimpin yang seharusnya datang.
Dalam teori kepemimpinan modern, keberadaan pemimpin seperti diatas termasuk dalam the birth right myth. Mitos ini merupakan sebuah pemahaman yang berbahaya karena melahirkan skeptisme terhadap masalah kepemimpinan serta melahirkan kepercayaan bahwa pemimpin adalah dilahirkan bukan diciptakan. Yang menjadi pokok permasalahan disini apakah tidak bisa dielaborasikan antara kedua sudut pandang tersebut sehingga pendidikan kepemimpinan bisa menghasilkan sang juru selamat tersebut?
Dalam magnum opus nya yang terkenal yaitu 100 tokoh, Michael Hart menempatkan pemimpin-pemimpin keagamaan dalam tingkatan atas tipe pemimpin yang paling berpengaruh selama sejarah umat manusia. Dalam dua puluh besar tokoh tersebut, delapan tokoh diantaranya adalah pemimpin dan enam tokoh teratas adalah pemimpin agama. Mereka antara lain Nabi Muhammad (1), Nabi Isa (3), Sidharta Gautama (4), Kong Hu Chu (5), Santo Paulus (6), Nabi Musa (15), Kaisar Qin Shi Huang-Di (17), dan Augustus Caesar (19). Tentunya bukan tanpa alasan Michael Hart menempatkan pemimpin-pemimpin agama tersebut dalam urutan awal termasuk Nabi Muhammad dalam urutan pertama.
Sejarah telah membuktikan bahwa pemimpin-pemimpin tersebutlah yang paling sukses memimpin pengikut-pengikutnya menjadi peradaban yang paling berhasil sesuai konteks saat itu. Hal yang membedakan antara mereka dengan pemimpin-pemimpin politik lain di bawahnya adalah keberadaan visi kenabian. Aspek transendental kenabian inilah yang menjadi point penting yang menjadi penentu keberhasilan mereka, apapun ajaran yang mereka bawa.
Pemisahan aspek transendental inilah yang menjadi akar permasalahan kepemimpinan dalam pengertian modern. Hal ini diperparah dengan kepercayaan bahwa kehadiran seorang juru selamat adalah mitos. Mereka yang percaya terhadap mitos ini pun hanya bisa berharap dan menunggu hingga pemimpin ini hadir. Interpretasi ulang terhadap teks-teks teologi dan perluasan konsep serta teori kepemimpinan modern merupakan sebuah keharusan untuk menciptakan messiah-messiah ini.
Tentu saja untuk memahami mensyaratkan adanya rasionalisasi teks-teks teologi dan kemudian disesuaikan dengan konteks kekinian. Dalam ajaran Tasawuf klasik, setiap orang memiliki potensi (ruh) kenabian tersebut. Namun ruh ini perlahan terus meredup seiring dengan kepercayaan terhadap rasionalitas dan hal-hal empiris semata. Mengembalikan posisi kewahyuan dalam aspek kehidupan dan kepemimpinan harus dilakukan untuk menciptakan kepemimpinan bervisi prophetik ini. Tentu saja pemahaman bahwa visi prophetik ini hanyalah domain salah satu agama tertentu adalah pemahaman yang keliru, karena jiwa transendental pada hakikatnya ada dalam setiap ajaran dan melekat dalam diri setiap manusia.
Dalam teori-teori tentang peradaban, Indonesia sebenarnya memenuhi sebagian besar syarat untuk menjadi sebuah negeri yang berperadaban maju. Kekayaan alam yang melimpah, kekuatan sosial yang kuat, kondisi iklim yang menguntungkan, dan kepemimpinan yang kuat merupakan prasyarat-prasyarat utama terciptanya peradaban-peradaban maju dunia seperti Mesir, China, Mesopotamia, dan Yunani. Prasyarat terakhir lah yang tidak dimiliki oleh negeri ini sehingga ironi serta paradoks ini seolah selalu melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sehingga wajar jika permasalahan seakan menjadi sesuatu yang inheren di negara ini.
Rumitnya kondisi Indonesia bisa terlihat dari berbagai aspek. Hukum yang seharusnya menjadi landasan kehidupan bernegara terjerat dalam kepentingan politik. Mekanisme politik sebagai sebuah sistem pengelolaan negara ini menjadi ajang persaingan kepentingan ekonomi. Perekonomian yang seharusnya bisa menyejahterakaan rakyat Indonesia malah menjadi ajang kerakusan dan eksploitasi. Agama dan filsafat yang menjadi penjaga moral dan nilai keluhuran bangsa dianggap sebagai domain normatif semata. Para filsuf dianggap sesat oleh hukum agama dan teolog yang berteriak lantang dianggap sebagai pembangkang oleh hukum negara. Kepemimpinan prophetik merupakan satu-satunya opsi jalan keluar untuk memutus lingkaran setan ini. (afz)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment