Diskursus dan Demokrasi Indonesia
Posted by
Noor Afif Fauzi
Perkembangan keilmuan dan intelektual manusia membawa ke ranah dimana pemahaman filsafat politik klasik dalam sebuah spektrum berupa garis datar right-left dianggap tidak relevan lagi. Hal ini terutama dikarenakan dialektika materi dan ide dalam debat ontologi tidak kunjung menemukan sintesis nya dan bahkan kemunculan varian-varian baru cara mengada manusia membuat sebuah paradigma tidak bisa lagi memaksakan mono validitas kebenaran menjadi miliknya semata. Habermas merupakan salah satu filsuf yang melakukan perlawanan terhadap oposan biner ide-materi ini dengan paradigma komunikasi nya. Pandangan ini menempatkan konstruksi nalar pengetahuan manusia diperoleh dari perbincangan-perbincangan rasional dalam ruang yang bebas dan emansipatoris (ruang publik).
Sebagai salah satu tokoh Mazhab Frankfurt, Habermas mempunyai pijakan kuat pada tradisi-tradisi marxis terutama pada kritik sosialnya meskipun memiliki perbedaan besar dalam postulat-postulat epistimologisnya. Dia berusaha menyelamatkan ajaran marx dari memori serta bias sejarah dan dogma ideologi ke dalam konteks waktu serta realita kekinian. Hal ini dilakukan dengan melawan skeptisme marx terhadap materi dengan mengembalikan agensi rasio manusia. Namun berbeda dengan pemikiran idealis klasik, agensi rasio ini harus diikutsertakan dalam sebuah praktek komunikasi yang mengganti paradigma kerja menjadi paradigma komunikasi. Hal lain yang penting dari revisinya terhadap Marx dan pemikir-pemikir Mazhab Frankfurt lain adalah keharusan dorongan praksis dalam setiap teori.
Salah satu buah pemikirannya yang cukup penting adalah konsep dan teori tentang diskursus. Secara sederhana diskursus merupakan sebuah percakapan atau wacana. Untuk membedakannya dengan perbincangan sehari-hari, diskursus tidak sekedar dialog sederhana seperti ketika kita bertanya kabar teman, bertanya harga, atau dialog sehari-hari lainnya. Dalam diskursus terdapat tematisasi dan pemetaan masalah sehingga diskursus dapat dianggap sebagai sebuah komunikasi reflektif yang mentematisasi sebuah permasalahan tertentu.
Dalam masyarakat Indonesia sebenarnya praktek ini telah melekat dan menjadi kearifan sosial. Hal-hal seperti musyawarah, dialog, dan semacamnya telah menjadi budaya dalam masyarakat kita. Namun hal ini seolah menjadi paradoks dan sesuatu yang ironis ketika dihardapkan dengan era demokrasi pasca reformasi. Era keterbukaan yang seharusnya menjadi pintu gerbang demokrasi malah perlahan membawa Indonesia menuju negara gagal. Hal ini terindikasi dengan karut marutnya praktek demokrasi baik dari tingkat grassroot maupun elit. Dalam makalah singkat ini, dengan menggunakan konsep diskursus Habermas, penulis akan memaparkan prospek aplikatif diskursus yang telah melekat dalam kearifan sosial masyarakat Indonesia untuk dapat memperbaiki kehidupan demokrasi di era reformasi ini.
Ketika komunikasi berlangsung praktek yang terjadi tidak hanya sebuah percakapan atau dialog biasa, latar belakang komunikasi (Lebenswelt [Jerman] atau lifeworld [Inggris]) komunikator menjadi hal penting yang sangat berpengaruh dalam proses ini. Hal ini berpengaruh secara pra reflektif dan bahkan pra sadar sehingga membawa proses komunikasi ke arah yang tendensius. Tendensi ini tidak selalu buruk, dan bahkan memaknai komunikasi yang berjalan. Hal lain yang sangat berperan adalah klaim-klaim kesahihan atau kebenaran. Klaim kesahihan dalam tematisasi komunikasi yang terus berlangsung akan membawa kita menuju sebuah kesadaran akan keberadaan labenswelt dan akhirnya membuat komunikasi menjadi lebih cerdas. Prinsip ini jika berjalan dengan baik tentunya merupakan modal yang sangat berharga dalam sebuah praktek demokrasi. Dalam demokrasi yang sehat, opini publik sebagai sebuah input blackbox sistem harus benar-benar merepresentasikan kehendak rakyat sehingga agregasi politik oleh partai politik juga tentunya akan berjalan dengan lebih baik. Namun fragmentasi praktek komunikasi antara elit dan rakyat membuat demokrasi pun terfragmen antara kedua kelompok ini.
Ketika kita kembali ke realita sosial dan politik Indonesia, wajar jika indikasi-indikasi mengarahkan demokrasi Indonesia menuju kegagalan. Tingkat pendengaran elit politik terbatas pada dinding gedung-gedung megah pemerintahan yang telah dibuat kedap terhadap suara rakyat. Dibutuhkan frekuensi suara yang lebih kuat agar suara bisa didengar dan itu hanya mungkin dilakukan oleh para kartel politik dan pemilik modal. Kaum Marxis akan menggunakan cara radikal untuk meruntuhkan gedung yang bebal itu sebagai satu-satunya opsi menyelesaikan permasalah ini. Namun sebenarnya permasalahan ini masih bisa diperbaiki dengan memperbaiki praktek komunikasi yang berlangsung.
Dalam pembedaan tipologi negara ke dalam tiga tipe birokrasi (kekuasaan), pasar (uang), dan masyarakat (solidaritas), terdapat fragmentasi komunikasi yang begitu nyata antara ketiga komponen tersebut. Birokrasi dan pasar membuat blog tersendiri yang seolah vis a vis dengan masyarakat. Perkembangan kapitalisme membuat masyarakat modern terpagari oleh realita sebenarnya. Kehidupan kultural telah terkooptasi dengan kuatnya sistemitasi ekonomi dan politik. Dalam ekonomi misalnya, masyarakat kini lebih suka berbelanja ke pasar modern yang melupakan aspek sosial seperti proses tawar-menawar. Demokrasi liberal juga telah mematikan komunikasi politik karena hanya yang mempunyai modal yang mempunyai akses komunikasi baik sesama elit maupun untuk menyuarakan rakyat dan bahkan kepentingan pribadinya.
Musyawarah sebagai salah satu identitas kearifan lokal masyarakat Indonesia seolah tidak berarti apa-apa ketika dibawa ke lingkup yang lebih tinggi. Labenswelt hanya efektif dilaksanakan dalam lingkup kecil seperti di tingkatan masyarakat tradisional. Dalam level ini, sistem pasar dan birokrasi ditempatkan sebagai subsistem masyarakat sehingga problemitasi serta tematisasi komunikasi bisa berjalan dengan baik dan kebijakan yang diambil pun bisa diterima oleh semua pihak. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ketika dalam lingkup kecil praktek komunikasi bisa berjalan dengan baik, namun mengapa dalam lingkup yang lebih tinggi hal ini seolah tidak berarti apa-apa? Menurut Habermas, hal utama yang menyebabkan hal ini adalah produk legal formal yang mengkooptasi proses komunikasi antara birokrasi-pasar dengan masyarakat. Sebagai jembatan antara kedua kelompok ini, hukum harus berperan sebagai cermin komunikasi kedua belah pihak.
Dari pemaparan diatas menjadi jelas bahwa ketika produk hukum hanyalah menjadi keputusan sepihak tanpa melibatkan masyarakat, dalam tatanan yang lebih tinggi, hal ini akhirnya akan mengantarkan demokrasi ke titik nadirnya. Kesepakatan tentang produk hukum adalah inti dari tema ini. Hal inilah yang terjadi pada masyarakat-masyarakat tradisional ataupun polis-polis Yunani pada awal pelaksanaan demokrasi klasik. Contoh aplikasi hal ini adalah pembuatan peraturan tentang PKL. Pihak birokrasi dan pasar harus mau duduk bersama dengan masyarakat untuk berkomunikasi dalam perumusan kebijakan tersebut. Pihak pedagang, konsumen, masyarakat sekitar, dan semua pemangku kepentingan harus duduk bersama dilibatkan dalam pengambilan keputusan sehingga pelaksanaan keputusannya pun tidak sepihak. Konsep ini seolah terlalu ideal, karena sebuah prinsip memang harus ideal. Namun hal ini bukan tidak mungkin dilaksanakan.
Dalam paradigma filsafat politik apapun, kekuasaan merupakan salah satu konsep terpenting dalam praktek politik. Sebenarnya, pendefinisan klasik menempatkan politik dalam tiga pemahaman yaitu perjuangan kekuasaan, distribusi, dan masalah nilai. Namun dalam prakteknya, politik hanya dipahami dalam pemahaman yang pertama yaitu masalah kekuasaan. Kesalahan berpikir ini menyebabkan distorsi-distorsi praktek politik lain seperti demokrasi, prinsip perwakilan, dan pengambilan keputusan. Dalam pengambilan keputusan misalnya, etika komunikasi sengaja ditutup dan digantikan dengan represi komunikasi. Ketakutan berkomunikasi dengan labenswelt akhirnya menjadikan keputusan yang diambil tak ubahnya paksaan semata.
Hal ini tentu saja akan berbeda jika praktek komunikasi benar-benar dilaksanakan secara benar. Ketika semua pihak duduk bersama dan menghasilkan keputusan bersama, untuk menjalankan keputusan tersebutpun akan dilaksanakan atau paling tidak mempunyai legitimasi dan keabsahan komunikasi yang kuat. Kemampuan menjalankan hal inilah yang disebut Habermas dengan kekuasaan komunikatif. Seorang penguasa tentunya tidak hanya dituntut untuk bisa berbicara melainkan mendengar dan mau untuk duduk bersama saling berkomunikasi.
Demokrasi deliberatif merupakan tatanan ideal dalam perwujudan praktek komunikasi dalam ranah politik bernegara. Deliberatif yang merupakan sinonim dari pembebasan dan tak boleh hanya menjadi atribut semata, melainkan harus bisa menjamin praktek komunikasi bisa berjalan tanpa represi. Kearifan lokal bermusyawarah yang melekat dalam kultur Indonesia merupakan modal yang sangat berharga dalam menjalankan tipe demokrasi ini. Insfrastruktur komunikasi ini jika bisa dikelola dengan baik dan ditingkatkan kualitasnya dalam bentuk forum-forum komunikasi yang lebih besar maka keseimbangan Negara Hukum-Civil Society sebagai sebuah cita-cita demokrasi deliberatif bukan tidak mungkin terjadi.
Permasalahan yang ada di Indonesia adalah kelembagaan politik mengharuskan dilemahkannya masyarakat sipil demi efektivitas politik. Silence culture yang merupakan identitas politik orde baru dianggap sebagai satu-satunya cara efektif dalam menjamin keberlangsungan pemerintahan. Dalam budaya ini, pemerintah memiliki keharusan peran sebagai diskursif control untuk mematikan suara-suara perlawanan. Pambaharuan kelembagaan harus dilakukan baik secara normatif maupun empiris untuk menjamin praktek komunikasi bisa berjalan dengan efektif. Beberapa hal konkrit masukan antara lain:
Pertama, Penjaminan proses politik yang bebas represi. Proses politik dari hulu hingga akhir harus benar-benar dijaga untuk menutup akses-akses pihak-pihak yang ingin menunggangi kekuasaan (free raider) seperti kartel politik dan ekonomi. Hal ini bisa dilakukan dengan menanggung semua biaya politik partai dan kampanye ditanggung pemerintah disertai dengan pengawasan yang kuat terhadapnya. Meskipun bukanlah kebijakan yang populis, hal ini merupakan langkah yang sangat penting untuk diambil untuk memotong repressor praktek komunikasi ini. Kedua, Pembuatan UU Konsesus Publik. Dalam pengambilan kebijakan apapun, pelibatan semua pihak yang berkepentingan harus dilaksanakan demi keabsahan kebijakan. Tentunya hal ini harus difasilitasi dan diwadahi fasilitator yang berkompeten agar efektivitas pembuatan konsesus tetap terjaga.
Ketiga, Penguatan Civil Society, proses komunikasi yang efektif hanya bisa terlaksana dengan keberadaan masyarakat bebas represi yang bisa diajak berkomunikasi demi legitimasi sebuah konsesus. Masyarakat sipil telah bisa melepaskan diri dari sistem birokrasi-pasar serta memiliki hak dan ruang memperjuangkan nasibnya sendiri. Kebebasan berpendapat harus dijamin dengan tak ada lagi represi opini publik. Keempat, pendidikan deliberatif. Sebagai sebuah base struktur bebuah bangsa pendidikan merupakan elemen paling vital dalam pembentukan karakter serta identitas tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa peranan pendidikan orde baru memiliki konstribusi penting dalam menciptakan silence culture masyarakat Indonesia. Mitos kekuasaan yang masih kuat dalam budaya sebagian besar masyarakat mau tidak mau harus didekonstruksi dengan menekankan pada kekuasaan komunikatif.
Anarkisme ruang publik terkadang memuat diskursus-diskursus sampah sebagai wacana dominan. Kesengajaan menggerakkan opini publik terkadang juga menjadi kritik pedas terhadap pemikiran ini. Namun Habermas tetap percaya selama praktek komunikasi bisa berjalan dengan efektif maka anomali-anomali ini akan hilang dengan sendirinya. Ruang publik pun akan membersihkan dirinya sendiri dengan akal dan rasio akal sehat manusia selama represi komunikasi tersebut bisa dijaga. Tentunya tekad dan kesungguhan antara berbagai pihak birokrasi-pasar-society untuk mau duduk bersama serta berkomunikasi merupakan prasyarat wajib dalam menyelamatkan negara ini dari kegagalannya. (afz)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment