Membaca Derrida
Posted by
Noor Afif Fauzi
Dalam ranah ilmu sosial, postmodernisme sebagai sebuah wacana maupun praktek diskursif, telah menjadi mode dominan dalam kehidupan intelektual dan praksis kita. Banyak teoritisi ilmu-ilmu social mencurahkan energi intelektualnya untuk mengkaji postulat-postulatnya, memahami para pengikutnya, dan tidak jarang pula yang menghabiskan energi hanya untuk mencela dan mencacinya.
Tentunya sangat tidak bijaksana jika seseorang begitu saja terperangkap dalam dogma apakah itu mendukung atau mencelanya tanpa memahami postmodern itu sendiri. Tulisan ini akan mencoba memaparkan pemikiran salah satu tokoh utama nya yaitu Jacques Derrida.
Bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dalam sebuah kehidupan sosial masyarakat. Hal ini menjadikan membaca dan menafsir menjadi hal yang selalu melekat dalam diri seorang manusia. Kebanyakan orang beranggapan sederhana bahwa bahasa adalah sesuatu yang taken for granted dan menjadi sesuatu yang netral. Namun sebenarnya pemahaman mengenai bahasa tidak lah sesederhana itu. Sebagai sebuah hasil konstruksi sosial, sistem dan tautan kata dalam bahasa sebenarnya menginterpretasikan tanda (sign.
Pemahaman mengenai keberadaan tanda dalam sebuah bahasa menjadi salah satu inti dari kajian filsafat yang memiliki pengaruh kuat di dalam ilmu sosial kontemporer. Bahasa tidak lagi dipahami sebagai sebuah media netral penyampai pesan, melainkan menjadi modus utama dalam kekuasaan sosial dan politik.
Salah satu pencetus awal bahasa sebagai unit analisa dalam metodologi filsafat adalah Ferdinand de Saussure. Saussure membagi tanda ke dalam dua komponen yaitu komponen bunyi (signifier/ penanda) dan komponen konseptual (signified/ petanda). Dalam hal ini, penanda merupakan suara yang atau tanda yang memiliki makna sementara penanda adalah aspek mental dari hal tersebut yang bersinggungan langsung dengan syaraf otak kita. Penanda memainkan asosiasi makna seperti ketika kita mengucap (menanda) sebuah apel, maka petanda berperan mengasosiasikan penanda itu ke dalam otak kita sebagai buah apel seperti yang kita pahami.
Meski begitu, penanda tidak mutlak menandai seperti itu. Sebuah tanda ‘terorisme’ yang pada awalnya merupakan tanda dari makna sebuah aktivitas seseorang atau kelompok yang meciptakan terror di masyarakat, kini tanda itu telah mengalami politisasi untuk membedakan mana sekutu dan musuh dari Amerika Serikat. Kaitan antara bahasa dan kekuasaan inilah yang menjadi landasan berpikir filosofisnya (dekonstruksi) yang memiliki pengaruh sangat kuat tidak hanya di ranah filsafat, tetapi juga ilmu sosial, arsitektur, dan budaya.
Jacques Derrida dikenal dengan pemikiran nya yang tidak hanya menjadi salah satu pilar dari kajian filsafat modern, melainkan juga “pencuriga” dan “perusak” tatanan-tatanan yang ada. Semua tatanan entah itu agama, filsafat, ideologi, social, dan budaya tidak luput dari serangannya. Selama ini, modernisme kita pahami sebagai sebuah proses untuk mencapai progresivitas kemajuan bagi umat manusia.
Nilai dan norma agama, filsafat, ideology, social, dan budaya saling berkelindan untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan termasuk dalam konsepsi manusia terhadap kebenaran. Gambaran dunia sempurna yang menjadi visi modernitas inilah yang dipertanyakan oleh derrida. Telah banyak fakta dari perjalanan sejarah umat manusia yang memperlihatkan ekses dan patologi dari modernism seperti perang dunia, bencana ekologi, kolonialisme, neo-liberalisme, ketimpangan, dan kemiskinan. Hal inilah yang menjadu salah satu landasan berpikir Derrida.
Bagi derrida, bukan kemajuan progresif umat manusia yang menjadi tujuan modernisme, melainkan despotism kemanusiaan yang mengingkari hakikat manusia itu sendiri. Misi ini diperankankan dengan baik oleh bahasa-bahasa modernitas. Curiga dan bahkan melepaskan diri dari modernitas menjadi hal yang wajib dilakukan untuk dapat lepas dari cengkeraman nya, dan mengembalikan esensi manusia dan kebenaran ke tempatnya. Dan dekonstruksi adalah cara untuk lepas darinya.
Dalam kajian strukturalisme, bahasa bisa ada karena adanya system perbedaan (system of difference) yang membedakan tanda satu dengan yang lain, dan oposisi biner adalah inti dari system perbedaan ini. Sistem ini pula yang menjadi komponen utama yang membentuk pemikiran filsafat barat seperti baik/ buruk, jiwa/ badan, dan makna/ bentuk, dimana makna pertama selalu lebih superior disbanding makna kedua. Inilah yang disebut logosentrisme yang kemudian makna pertama mempunyai hak istimewa untuk melecehkan makna kedua.
Dikotomi penyepesialan dan pelecehan makna bahasa ini berjalan paralel dengan yang terjadi dalam penentuan nilai kebenaran. Petanda kebenaran yang harusnya eksternal dari penanda kemudian menyatu dengan penanda dalam bahasa. Kesatuan bentuk petanda-penanda yang hadir bersamaan (metafisika kehadiran) inilah yang dikritik oleh derrida karena hal tersebut hanya bisa hadir dalam tuturan, bukan tulisan. Metafisika kehadiran merupakan metafora ideal sebuah kebenaran. Namun dalam kehidupan manusia hal adalah sesuatu yang utopis, karena kebenaran haruslah berasal dari penutur kebenaran yang benar-benar.
Ketika seseorang menulis sebuah teks, secara otomatis terjadi keterputusan hubungan antara sang penulis dan teks hasil tulisannya. Penulis tidak lagi mempunyai otoritas dalam menghadirkan petanda dalam tulisannya karena tulisan nya telah diserahkan kepada orang lain dan masa depan, sehingga makna dari penulis pada waktu menulis bisa jadi telah terputus karena orang yang membaca tulisan tersebut memiliki penafsiran sendiri dalam mengungkap penanda tersebut. Terlebih jika jangka waktu dalam penyampaiannya dari penulis ke pembaca cukup lama, distorsi makna bukan tidak mungkin akan terjadi.
Menurut Derrida, distorsi inilah yang terjadi dalam modernitas. Dalam diskursus ini, penanda dianggap sama juga dianggap memiliki petanda yang sama meskipun konteks semantik yang membentuk kedua orang tersebut berbeda. Oleh karena itu, Derrida mengajak kita untuk membuka kekakuan modernitas ini dengan dekonstruksinya.
Untuk memahami dekonstruksi terlebih dahulu memahami konsep differance. Difference merupakan sebuah pemahaman bahwa semua proses berpikir, menulis, dan berkarya adalah sebuah proses menelusuri jejak-jejak tulisan berupa permainan perbedaan-perbedaan, jejak dari perbedaan-perbedaan tersebut, dan penjarakan yang mengkaitkan antara unsure tersebut dengan yang lain.
Tulisan sendiri memiliki tempat yang istimewa karena merupakan prakondisi dari bahasa dan oral. Pemikiran tentang kebenaran pun tidak lebih dari pencarian jejak-jejak tersebut, sehingga otomatis menghilangkan makna transendental dari kebenaran itu sendiri. Semua kebenaran (petanda absolut) pasti memiliki jejak dibelakangnya. Hal ini menjadikan apa yang selama ini pasti ternyata adalah ketidakpastian, sehingga postmodernisme sendiri adalah permainan tentang ketidakpastian.
Postmodernisme menolak tentang konsep ada (being) sebagai sebuah basis ontologi filsafat. Metafisikia kehadiran (ada) yang menjadi basis menentukan kebenaran ternyata tak lebih dari metafora semu yang terus bergeser terus menerus. Segala macam logosentrisme dalam filsafat seperti tuhan, manusia, ide, empiris, dan rasio haruslah dibongkar ulang agar tidak terjadi tirani kebenaran yang tak jarang menjadi alat intimidasi kebenaran yang lain. Tak cukup dibongkar, kebenaran haruslah diberi tanda silang (sous rapture) agar tidak menjadi oposisi biner dari sebuah kekeliruan.
Banyak orang beranggapan bahwa memasuki ranah pemikiran Derrida adalah memasuki sebuah penjelajahan makna yang tak berujung. Hal inilah yang menjadikan seolah ujung dan tujuan akhir dari ke takberujungan penjelajahan postmodernisme adalah kerelatifan berpikir. Terlepas dari perdebatan tersebut, paling tidak Derrida telah membawa manusia untuk mempertanyakan kembali konsepsi kebenaran yang telah diyakini khalayak umum dan terus mencari kebenaran dibalik kebenaran, dan bukan tidak mungkin, meskipun Derrida skeptis terhadapnya, suatu saat kita bisa menemukan kebenaran absolut yang menjadi inti dari kebenaran.(afz)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment