afforisma

"just my soliloquy for may be something in between"

Pages

My Blog List

Showing posts with label short essay. Show all posts
Showing posts with label short essay. Show all posts

Cahaya



Ada sebuah titik koordinat kesadaran dimana setiap dari kita bisa menemukan makna terdalam kebenaran didalamnya. Titik yang menjadi tempat persinggungan dan ruang yang melingkupi segenap perbedaan paradigma ideologis dan kepercayaan. Disana, kita akan terhubung dan bahkan menyatu dengan segenap manusia, makhluk, semesta, dan segala ciptaan-Nya.

Untuk mencapainya, kita tak harus bersusah payah melalui berbagai kerangka konseptual dan roadmap nilai, norma, ideologi, paradigma, hukum, atau bahkan fatwa tertentu. Titik itu ada di dalam tiap-tiap diri manusia. Namun kadang keengganan untuk cukup berendah hati membuat kita tak peka untuk menyadari keberadaannya.

Dalam berbagai kesempatan, dengan berbagai macam cara dan tingkat pengalaman kita masing-masing, Tuhan selalu mengingatkan bahkan sedikit memaksa agar kita mau memalingkan dan menghentikan sejenak rutinitas, baik kegiatan, pikiran, maupun perasaan, agar bisa mengenali keberadaan titik tersebut.

Kita juga telah diberikan semacam manual, cara sederhana agar lebih mudah sampai padanya. Namun, sifat keras hati dan keputus-asaan seakan telah menggumpalkan kepertidakcayaan terhadapnya. Kadang juga keraguan itu muncul karena kita cenderung memaksakan petunjuk dalam manual tersebut sekedar sebagai rutinitas tanpa substansi.

Berhenti sejenak, pejamkan mata, lihat ke dalam, dan rasakan- kita akan mendapati titik itu (masih) tekun dan sabar mengetuk pintu hati dan kesadaran kita. Sekian lama, hanya untuk menunjukkan bahwa tuhan sama sekali tidak meninggalkan kita.

Sapalah dia, bercengkerama, bertanya, dan berdialektikalah. Kelak saat jawaban telah engkau dapatkan, titik itu akan segera bergetar. Menjelma menjadi episentrum yang memancarkan cahaya, juga memuaikanmu menjadi cahaya. Bersamanya engkau akan diajak melaju melintasi seluruh penjuru semesta, yang bahkan gelap terpekatpun akan meluruh tak mampu menghalangi laju perjalananmu.

Dan saat engkau benar-benar telah menjadi sebuah cahaya, engkau akan sadar bahkan kekecewaan terbesarpun tak ada yang menjadi sia-sia. (afz)

Prophetic Leadership



Dalam kajian filsafat sejarah, messianisme merupakan sebuah paham atau pandangan mengenai kedatangan seorang juru selamat yang akan membebaskan manusia dari penderitaan yang dialaminya. Dalam berbagai literatur-literatur agama, determinisme akhir tahapan kehidupan manusia ditandai dengan adanya seorang juru selamat akan hadir memimpin segenap umat manusia, mengakhiri segala macam tatanan despotisme yang ada sekarang, lalu kemudian menghadirkan tatanan menghadirkan tatanan baru yang adil dan bahagia.

Dalam ajaran Yahudi ada sosok Manahem, agama Nasrani mempercayai turunnya Isa al masih, dan Islam percaya akan datangnya Imam Mahdi sebagai sang penyelamat zaman. Tradisi peradaban lokal juga mempunyai sosok penyelamat ini seperti dalam kepercayaan jawa mengenai kedatangan Ratu Adil atau pun Satrio Piningit.

Selama proses penantian sang juru selamat, manusia hanya bisa menunggu dan menerima begitu saja dipimpin oleh pemimpin seadanya. Sehingga keadaan krisis, kemiskinan, ketidakadilan, kesengsaraan, serta berbagai bentuk dekandensi lain merupakan sesuatu yang natural karena memang pemimpin tersebut dianggap hanya sebagai pengisi posisi pemimpin sebelum pemimpin yang seharusnya datang.

Dalam teori kepemimpinan modern, keberadaan pemimpin seperti diatas termasuk dalam the birth right myth. Mitos ini merupakan sebuah pemahaman yang berbahaya karena melahirkan skeptisme terhadap masalah kepemimpinan serta melahirkan kepercayaan bahwa pemimpin adalah dilahirkan bukan diciptakan. Yang menjadi pokok permasalahan disini apakah tidak bisa dielaborasikan antara kedua sudut pandang tersebut sehingga pendidikan kepemimpinan bisa menghasilkan sang juru selamat tersebut?

Dalam magnum opus nya yang terkenal yaitu 100 tokoh, Michael Hart menempatkan pemimpin-pemimpin keagamaan dalam tingkatan atas tipe pemimpin yang paling berpengaruh selama sejarah umat manusia. Dalam dua puluh besar tokoh tersebut, delapan tokoh diantaranya adalah pemimpin dan enam tokoh teratas adalah pemimpin agama. Mereka antara lain Nabi Muhammad (1), Nabi Isa (3), Sidharta Gautama (4), Kong Hu Chu (5), Santo Paulus (6), Nabi Musa (15), Kaisar Qin Shi Huang-Di (17), dan Augustus Caesar (19). Tentunya bukan tanpa alasan Michael Hart menempatkan pemimpin-pemimpin agama tersebut dalam urutan awal termasuk Nabi Muhammad dalam urutan pertama.

Sejarah telah membuktikan bahwa pemimpin-pemimpin tersebutlah yang paling sukses memimpin pengikut-pengikutnya menjadi peradaban yang paling berhasil sesuai konteks saat itu. Hal yang membedakan antara mereka dengan pemimpin-pemimpin politik lain di bawahnya adalah keberadaan visi kenabian. Aspek transendental kenabian inilah yang menjadi point penting yang menjadi penentu keberhasilan mereka, apapun ajaran yang mereka bawa.

Pemisahan aspek transendental inilah yang menjadi akar permasalahan kepemimpinan dalam pengertian modern. Hal ini diperparah dengan kepercayaan bahwa kehadiran seorang juru selamat adalah mitos. Mereka yang percaya terhadap mitos ini pun hanya bisa berharap dan menunggu hingga pemimpin ini hadir. Interpretasi ulang terhadap teks-teks teologi dan perluasan konsep serta teori kepemimpinan modern merupakan sebuah keharusan untuk menciptakan messiah-messiah ini.

Tentu saja untuk memahami mensyaratkan adanya rasionalisasi teks-teks teologi dan kemudian disesuaikan dengan konteks kekinian. Dalam ajaran Tasawuf klasik, setiap orang memiliki potensi (ruh) kenabian tersebut. Namun ruh ini perlahan terus meredup seiring dengan kepercayaan terhadap rasionalitas dan hal-hal empiris semata. Mengembalikan posisi kewahyuan dalam aspek kehidupan dan kepemimpinan harus dilakukan untuk menciptakan kepemimpinan bervisi prophetik ini. Tentu saja pemahaman bahwa visi prophetik ini hanyalah domain salah satu agama tertentu adalah pemahaman yang keliru, karena jiwa transendental pada hakikatnya ada dalam setiap ajaran dan melekat dalam diri setiap manusia.

Dalam teori-teori tentang peradaban, Indonesia sebenarnya memenuhi sebagian besar syarat untuk menjadi sebuah negeri yang berperadaban maju. Kekayaan alam yang melimpah, kekuatan sosial yang kuat, kondisi iklim yang menguntungkan, dan kepemimpinan yang kuat merupakan prasyarat-prasyarat utama terciptanya peradaban-peradaban maju dunia seperti Mesir, China, Mesopotamia, dan Yunani. Prasyarat terakhir lah yang tidak dimiliki oleh negeri ini sehingga ironi serta paradoks ini seolah selalu melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sehingga wajar jika permasalahan seakan menjadi sesuatu yang inheren di negara ini.

Rumitnya kondisi Indonesia bisa terlihat dari berbagai aspek. Hukum yang seharusnya menjadi landasan kehidupan bernegara terjerat dalam kepentingan politik. Mekanisme politik sebagai sebuah sistem pengelolaan negara ini menjadi ajang persaingan kepentingan ekonomi. Perekonomian yang seharusnya bisa menyejahterakaan rakyat Indonesia malah menjadi ajang kerakusan dan eksploitasi. Agama dan filsafat yang menjadi penjaga moral dan nilai keluhuran bangsa dianggap sebagai domain normatif semata. Para filsuf dianggap sesat oleh hukum agama dan teolog yang berteriak lantang dianggap sebagai pembangkang oleh hukum negara. Kepemimpinan prophetik merupakan satu-satunya opsi jalan keluar untuk memutus lingkaran setan ini. (afz)

Minzhu Nushen


Mungkin Hegel salah ketika menggambarkan sejarah sebagai ruh penggerak gerigi kehidupan, menuju pencerahan. Paling tidak bagi korban Tiananmen, baik yang meninggal maupun yang menjadi buronan, sejarah tak lebih dari masa silam yang direka, atau kenangan yang menghantui, atau harapan masa depan yang suram.

Sejarah memang mencatat, namun sebagian besar catatan tersebut sengaja dihapus atau dikarang ulang. Mereka yang berani, bahkan untuk sekedar mengingatnya, kerap dicap sebagai penjahat, penghianat, atau kontra revolusioner. Dan Tiananmen (pernah) menjadi saksi hal itu, roh sejarah yang menampakkan wajah suram dan tak ramah.

Lapangan yang didirikan tahun 1420 itu, awalnya dirancang sebagai simbol kebesaran dinasti Ming. Tianmaen yang secara harfiah berarti ‘gerbang kedamaian surgawi’, mungkin salah diartikan sebagai ‘gerbang stabilitas politik dan kekuasaan’. Dan mungkin juga karena itulah, lapangan yang harusnya berfungsi sebagai ruang publik, berubah menjadi ajang pembungkaman dan penghakiman bagi yang tidak sepakat dengan penguasa. Dan hal itu terbukti, pada tragedi Tianmaen 4 Juni 1989.

Kejadian itu dimulai beberapa bulan sebelumnya, pada April 1989, saat ratusan demonstran berkumpul di lapangan Tianmaen. Di tahun dimana angin kebebasan berhasil meruntuhkan tembok komunisme di berbagai belahan dunia tersebut, awalnya mereka di sana untuk memperingati kematian salah satu pemimpin mereka, Hu Yao Bang. Namun, ketidakpuasan terhadap korupsi dan perekonomian China, serta inspirasi kejatuhan komunisme di Jerman dan Uni Soviet, membuat jumlah demonstran terus bereskalasi. Jutaan orang, sebagian besar pekerja dan mahasiswa, selama tujuh pekan terus membanjiri Beijing, berharap untuk sebuah perubahan. Di Tianmaen mereka menggelar unjuk rasa, melakukan mogok makan, mendirikan tenda, dan membuat sebuah patung untuk mempertegas komitmen dan tujuan mereka.

Dua puluh tiga tahun yang lalu, Minzhu Nushen, patung dewi kebebasan itu pernah berdiri kokoh di tengah belantara lautan manusia di lapangan Tiananmen, tepat berhadapan dengan potret Mao, pemimpin besar China. Namun, ikon yang melambangkan demokrasi dan harkat manusia yang bebas itu, hanya sanggup berdiri selama lima hari. Angin perubahan tak mampu merobohkan kokohnya tembok besar komunisme China.

Pada 4 Juni 1989, sang dewi itu tumbang bersamaan dengan meluruhnya lautan manusia yang berubah menjadi lautan darah. Tentara Pembebasan Rakyat (People Liberation Army) memasuki kota, menyerbu dan menembaki demonstran. Batalyon tank melaju ke tengah lapangan, tanpa ampun melindas para demonstran yang tidak mau membubarkan diri. Teriakan kebebasan berubah menjadi jerit ketakutan. Hari itu, militer memang diperintah untuk membubarkan para demonstran yang diberi tenggat waktu hingga pukul 06.00 pagi.

Dan militer berhasil menjalankan misi tersebut. Ratusan orang, meski tak diakui pemerintah China, mati.

Namun kematian mereka tak menjadi sia-sia. Oleh mereka, Tiananmen menjelma menjadi tak sekedar sebuah lapangan, melainkan juga ranah pertarungan ingatan. Dimana ruh sejarah bertarung sengit dengan mereka yang ingin membungkamnya.

Dan kini patung tersebut memang telah runtuh. Namun bagi sebagian orang, Minzhu Nushen sampai kapanpun akan tetap tegar berdiri di lapangan tersebut. Dan mungkin hanya dengan keyakinan itu, kelak ia benar-benar bisa berdiri lagi di sana. Memenuhi janji menjaga harkat dan martabat manusia. Serta mengingatkan Tiananmen pernah benar-benar menjadi pintu kedamaian surgawi, lewat kematian.(afz)