Constructivism: It’s Contents and Discontents
Posted by
Noor Afif Fauzi
Prawacana
Hingga menjelang berakhirnya era perang dingin, lanskap teoritis hubungan internasional paling tidak ditandai dengan tiga tradisi besar yang berakar kuat dari liberalisme (pluralisme), realisme, dan marxisme. Ketiga tradisi ini memiliki peranannya tersendiri dalam perdebatan besar ketiga (third debate) hubungan internasional.
Dalam tipologi yang dibuat Jackson dan Sorensen (1999), ranah pertama dalam perdebatan tersebut diwarnai debat paradigmatik antara neoliberal-neorealis dengan strukturalis (markis) sementara ranah kedua diwarnai debat filosofis-epistemologis antara positivis dengan postpositivis. Kegagalan tradisi-tradisi ini dalam menjelaskan konteks berakhirnya perang dingin berimplikasi munculnya konstruktivisme sebagai paradigma alternatif (baca: middle ground, lihat: Zehfuss, 2004: 5), sekaligus merubah trikotomi paradigma hubungan internasional (liberal-realis-marxis) menjadi dikotomi (rationalis-utilitarian dan konstruktivis) (lihat Hobson, 2000: 145).
Melacak akar konstruktivis
Pelopor dan sekaligus pemikir konstruktivis yang berpengaruh antara lain Emmanuel Adler, Nicholas Onuf, John Gerard Ruggie, dan Alexander Wendt (Chernoff, 2007). Menurut Smit dalam Burchill (2005: 195), ontologi konstruktivisme dibangun paling tidak oleh tiga asumsi pokok. Pertama, alih-alih material struktur, konstruktivisme melihat bahwa struktur normatif dan ide memiliki peranan penting dalam membentuk dan menentukan perilaku sosial dan politik aktor.
Hal ini sesuai dengan Wendt (1999: 1) yang menyatakan bahwa struktur hubungan antar manusia ditentukan terutama ole ide bersama (shared ideas) dari pada kekuatan materi, sekaligus melihat bahan material hanya bisa mendapatkan makna dari struktur ide bersama (ibid: 75). Price juga mengemukakan hal yang hampir serupa. Ia mendefinisikan konstruktivisme sebagai tradisi sosial-politik yang melihat dunia tidak sekedar terdiri dari aspek material tetapi juga fenomena ide sosial melalui bagaimana kita menginterpretasi dunia materi dan mengkonstruksi masyarakat (Price, 2008:19).
Kedua, konstruktivisme memahami bagaimana struktur non material membentuk identitas aktor sangat penting karena identitas akan menentukan kepentingan dan selanjutnya membentuk tindakan. Kepentingan (sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku politik) bukan menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-aktor politik, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut.
Asumsi inilah yang membedakan dari rasionalis yang percaya bahwa kepentingan adalah sesuatu yang given dan melekat begitu saja pada sebuah aktor. Kembali ke Hobson (2000:146), ia melihat bahwa negara tidak otomatis mengetahui kepentingannya secara apriori. Hopf (1998: 181) berargumen bahwa kepentingan negara hanyalah bagian yang melekat dari proses pembentukan (konstruksi) identitas. Wendt mengelaborasi lebih lanjut bagaimana identitas membentuk kepentingan melalui praktek intersubyektif (lihat Wendt, 1992: 183).
Ketiga, agen dan struktur secara timbal balik saling menentukan. Struktur ide dan norma bisa saja menjadi basis identitas dan kepentingan aktor, tapi struktur tersebut tak akan hadir jika tak ada praktek dari aktor yang diketahui (Smit dalam Burchill: 197). Secara mendasar, hal inilah yang membedakan dengan rasionalis yang menekankan hanya pada agen maupun strukturalis yang menekankan hanya pada struktur. Teori strukturasi Giddens (1984), yang juga sangat mempengaruhi konstruktivis, memberikan penjelasan yang cukup baik mengenai agen dan struktur ini.
Mengenai agen, ia berpendapat bahwa daya pengetahuan para agen manusialah yang terutama paling banyak terlibat dalam penataan rekursif praktik-praktik sosial (ibid: 4). Sementara tentang struktur, ia lebih banyak mengambil pengertian dari tradisi strukturalis dibandingkan dengan behavioralis yang merujuk struktur pada kelengkapan-kelengkapan yang memungkinkan pengikatan ruang dan waktu dalam sistem sosial. Pelembagaan norma dan ide menentukan makna dan identitas aktor dan pola aktivitas ekonomi, politik, dan budaya yang berhubungan dengan aktor tersebut (Boli, Meyer, dan Thomas 1989: 12 dalam Smit dalam Burchill: 197) dimana hal ini tercipta melalui interaksi hubungan timbal balik (Wendt, 1992: 406 dalam ibid: 198).
Sebagai perspektif yang lahir dari rahim perdebatan debat ketiga (third debate) hubungan internasional, aspek epistemologi menjadi salah satu perhatian utama dari konstruktivisme. Sebagai implikasi dari proposisi ontologi di atas, konstruktivisme meyakini keberadaan fakta sebagai interpretasi (verstehen) sosial. Sebuah fakta sebenarnya telah diinterpretasikan dalam kehidupan sosial. Hal ini termasuk mengenai fakta yang ingin diteliti oleh seorang ilmuan yang juga telah berupa hasil proses intersubjektif dia dalam interaksi sosialnya (lihat Adler, 1997: 326).
Secara metodologis, konstruktivisme menolak prinsip-prinsip positivisme dalam menentukan kriteria sebuah ilmu pengetahuan. Konstruktivisme menolak doktrin the unity of science, yang menghendaki tatanan pengetahuan yang determinis, rasionalis, dan empiris. Kepercayaan pada prinsip tersebut hanya akan mereduksi sekaligus mematikan keberadaan agen dan struktur sekaligus hubungan antar keduanya.
Secara aksiologis, konstruktivisme menolak sekaligus keinginan untuk menciptakan pengetahuan yang bebas nilai (the fact‐value distinction) dan hukum universal (timeless dan spaceless/ law‐like generalization) seperti diinginkan oleh kaum Kuhnian maupun yang relatif nilai seperti yang digerakkan oleh kaum postmodern. Mengikuti konsepsi “‘B‐Big’ Truth” dan “‘t‐small’ truth” dari Price and Reus‐Smith (1998), yang perlu dan hanya dapat dilakukan oleh ilmuan, menurut konstruktivis, adalah membuat ‘kebenaran kecil’ (benar ‘b‐kecil’).
Review Kritis Konstruktivis
Sampai disini, cukup jelas jika disimpulkan sementara bahwa konstruktivisme bukan sekedar sebuah teori. Perbedaan dan tantangan yang cukup mendasar bagi paradigma mainstream membuat serangan balik terhadap konstruktivisme juga cukup gencar. Pertama, meskipun Wendt (1999) memiliki ambisi untuk menjadikan konstruktivisme sebagai teori komprehensif untuk semua aspek ilmu sosial, namun perhatian yang terlalu terpusat pada aspek filosofis menjadikan perspektif ini seolah hanya berupa kerangka analisis (analytical framework), tidak memiliki cukup kemampuan dalam kerangka teknis untuk menjadi sebuah teori yang mapan.
Kedua, adanya tuduhan eklektik yang melekat pada perspektif ini. Hal ini bisa dilihat dari asumsi-asumsi yang digunakan cenderung merupakan kesimpulan substansi dari perspektif-perspektif lain. Kemiripan ini dilihat Chernoff (2002: 152-153) sebagai kebingungan terselubung konstruktivisme dengan para kompetitornya seperti neorealist dan neoliberal. Gagasan World State Wendt dianggap Chernoff sebagai apresiasi tertinggi terhadap fenomena organisasi internasional yang menjadi prinsip kaum liberal (lihat ibid).
Ketiga, sebagaimana diungkap Smit, konstruktivisme memiliki kesulitan dalam hal metodologi. Terdapat perbedaan pendekatan dalam konstruktivis sendiri untuk menganalisa konsep-konsep penting dan mendasar seperti norma, ide, dan nilai serta intersubjektivitas. Jurang yang cukup lebar terjadi ketika banyak pakar konstruktivis yang menggunakan pendekatan yang sangat berbeda, antara empiris quantitatif dengan pendekatan geneologis (Johnston, 1995 dan Price, 1997 dalam Smit: 204).
Terakhir, menggunakan argument dari teori kritis, konstruktivis tidak memiliki kejelasan sikap aksiologis. Linklater (1992a) mengidentifikasi tiga dimensi dalam proyek teori kritis: tugas normatif untuk menilai dan meninjau kembali justifikasi moral dari organisasi politik terutama negara berdaulat, tugas sosiologis untuk memahami bagaimana komunitas moral baik lokal, nasional, maupun global memperluas cakupan, dan tugas praksis (praksiologi) untuk menghilangkan penghalang dan memperluas kesempatan bagi berjalannya tindakan politik yang emansipatif. Namun meskipun secara geneologi memiliki akar pemikiran dari filsafat kritis, konstruktifis cenderung mengarah sebagai kerangka analisis semata, serta kehilangan pegangan pada etika dan moral yang menjadi prinsip penting teori kritis ini.
Kesimpulan
Harus diakui, meskipun cukup banyak kritikan terhadap konstuktivis, perspektif ini memiliki daya pikat tersendiri sebagai salah satu perspektif mutakhir hubungan internasional. Kecenderungan sebagai perspektif normatif sebagaimana banyak dituduhkan, malah memberikan kesempatan baginya untuk meraba ruang-ruang epistemologis baru yang tak pernah terjamah perspektif-perspektif mainstream. Identitas yang menjadi konsep pokok juga memberikan ruang emansipatoris yang baru bagi kemunculan teori-teori yang melihat dan menghargai aspek lokalitas, meskipun maksud emansipatoris disini belum mencapai tahapan untuk bisa disebut sebagai emansipasi dalam perspektif kritis.
Referensi:
Burchill, Scott (ed), 2005, Theory of International Relation (3rd edition), New York: Palgrave Macmillan
Chernoff, Fred, 2007, Theory and Metatheory In International Relations: Concepts and Contending Accounts, New York: Palgrave Macmillan
Hobson, John M., 2003, The State and International Relation, Cambridge: Cambridge University Press
Jackson, Robert and Georg Sorensen, 1999, Introduction to International Relations, Oxford: Oxford University Press
Linklater, A, 1992, The Question of the Next Stage in International Relations Theory: A Critical Theoretical Point of View, Millennium 21
Price, Richard M. (ed.), 2008, Moral Limit and Possibility in World Politics, Cambridge: Cambridge University Press
Wendt, Alexander, 1999, Social Theory of International Politics, Cambridge: Cambridge University Press
Zehfuss, Maja, 2004, Constructivism in International Relations: The politics of Reality, Cambridge: Cambridge University Press
Jurnal:
Adler, Imanuel, 1997, Seizing the Middle Ground: Constructivism in World Politics, European Journal of International Relations, Vol.3 (3)
Hopf, Ted, 1998, The Promise of Constructivism in International Relations Theory, International Security, Vol. 23 (1)
Price, Richard and Christian Reus‐Smit, 1998, Dangerous Liaisons?: Critical International Theory and Constructivism, European Journal of International Relations, Vol.4 (3)
Noor Afif Fauzi
gambar diambil dari sini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment