Tidak sengaja menemukan file tulisan beberapa tahun silam, saat masih menjadi Kabid Iptek IMM Komisariat Fisipol UMY. Semoga masih relevan...
Sejak didirikan 48 tahun silam, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah telah mewarnai langgam dan dinamika dunia pergerakan mahasiswa di Indonesia. Sebagai salah satu organisasi pergerakan mahasiswa terbesar di Indonesia, yang juga merupakan organisasi otonom dari Muhammadiyah, IMM sering dikeluhkan lamban dan tidak berdikari dalam organisasi.
Keberadaan organisasi ordinat diatasnya, kemudahan dan kemanjaan fasilitas oleh amal usaha, serta melimpahnya kuantitas kader sering menjadi kambing hitam dari dua fenomena tersebut. Mewabahnya epidemik pragmatisme yang melanda sebagian besar organisasi pergerakan berikut kader-kadernya di era reformasi dan demokratisasi saat ini, juga berpengaruh. Jika ini dibiarkan, tentu saja peran sentral organisasi pergerakan sebagai gerakan moral-intelektual penyangga idealisme akan semakin pudar. Jika berbagai faktor diatas diskemakan lebih lanjut, faktor eksternal berupa derasnya laju globalisasi yang menuntut kecepatan dan pragmatisme, bisa diselesaikan dengan memikirkan dan merenungi kembali epistemologi yang selama telah tertanam.
Meskipun epistemologi merupakan permasalahan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, persoalan ini sangat jarang untuk dikaji dan hanya dianggap sebagai lahan garapan filsafat yang teoritis, mengawang, dan tidak bersentuhan dengan persoalan. Padahal di era globalisasi yang ditandai dengan kecepatan dan keterbukaan di berbagai bidang, keberadaan sebuah pedoman sangat penting sebagai peta dan titian jalan agar tidak terjebak dalam rutinitas dan dilimbungkan keadaan. Doktrin dari isme-isme yang dulu menjadi tameng pelindung perlahan mulai runtuh oleh kapitalisme dan neoliberalisme yang (dianggap) lebih rasional sebagai kuda pacuan mengejar kecepatan zaman.
Keberadaan jarak antara ide dan realita inilah yang menjadi persoalan utama pergerakan mahasiswa saat ini. Wacana yang kuat sering hanya berhenti pada tataran normative dan tidak bisa ditransformasikan dalam ranah praxis dan preskriptif. Dalam tataran yang lebih luas, organisasi dengan cap pergerakan perlahan mulai tersingkir oleh keberadaan gerakan maupun komuinitas sosial baru yang lebih diterima oleh masyarakat. Gerakan-gerakan mapan mulai tersingkir dengan keberadaan revolusi semut oleh gerakan alternatif dan komunitas-komunitas independen. Keberhasilan eksistensi mereka karena memilih untuk hidup menghadapi realitas dalam kompleksitas globalisasi ketimbang terjebak dalam wacana semata.
Meskipun keterasingan ini memiliki implikasi positif pula, antara lain orisinilitas ide dan eksklusifitas perkaderan yang terjaga, namun ketidakmampuan membaca globalisasi tentu saja akan berekses pada ketidakmampuan beradaptasi dengan perkembangan. Ini merupakan permasalahan serius, karena akan berimplikasi pada kegagalan mengekspresikan idealitas. Baca, diskusi, dan aksi selama ini menjadi doktrin dalam perkaderan, jika tidak dilanjuti dengan bentuk ekspresi yang lain, akan menempatkan idealisme dalam tempurung yang hebat hanya dalam komunitasnya. Tidak ada pilihan lain bagi organisasi pergerakan kecuali reborn atau lahir kembali, bukan dalam bentuk fisik melainkan cara pandang dan pemikiran untuk membentuk habitus yang tepat.
Permasalahan ini juga dihadapi oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai underbow baik mengenai ideologi maupun organisasi dari Muhammadiyah. Kemapanan pemahaman teologis Muhammadiyah terkadang menjadi blunder yang menjebak IMM dalam symbol dan citra kemapanan. Azyumardi Azra pernah mengkritik pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang cenderung monolistik (salafiyah) ini. Padahal kecenderungan keagamaan masyarakat semakin pluralistik. Menurut Azra, selama ini Ulama Muhammadiyah hanya dialokasikan di tempat periferal dan marginal, yaitu di Majelis Tarjih, yang hanya menekuni dan menjawab persoalan-persoalan teknis hukum Islam (fiqhiyyah) untuk merespons perkembangan modern. Kalaupun ada di kalangan Muhammadiyah yang kritis terhadap pemerintah, itu biasanya muncul dari kalangan santri intelektual. Jarang sekali yang dikenal sebagai Ulama melakukan fungsi kontrol.
Krisis ini berimbas pada IMM baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, paham kemanjaan ini berkembang menjadi penyempitan ranah perjuangan sebagai kader persyarikatan, melupakan ranah lain yang jauh lebih penting yakni kebangsaan dan umah. Kader yang seakan sudah merasa nyaman berada dalam tubuh organisasi Muhammadiyah baik di ortom maupun majelis, dan menganggap kiprah pengabdian mereka sudah selesai. Memikirkan kembali basis epistemologi yang tepat sangat penting untuk menemukan paradigma baru ikatan agar idealisme tidak tercerabut dari akar, sekaligus bisa memenuhi tuntutan zaman. (afz)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment