Postkolonialisme: Sebuah Pengenalan Teoritik
Posted by
Noor Afif Fauzi
Sebagai sebuah praktek, kolonialisme telah berakhir dan menjadi salah satu aktor yang paling bertanggung jawab kelahiran negara-negara apa yang selama ini dikenal sebagai negara dunia ketiga. Namun, kemerdekaan politik tanah jajahan tidak selamanya dibarengi dengan kemerdekaan di ranah lain. Kolonialisme sebagai sebuah gagasan masih terus bertahan, dengan derajat berbeda di beberapa wilayah jajahan, dan mewujud sebagai wacana poskolonial. Tulisan ini akan mencoba memberikan pengantar singkat terhadap konsepsi teoritik tersebut.
Poskolonialisme memeberikan gambaran persoalan-persoalan yang belum selesai di negeri yang pernah dijajah. Kajian ini mulai mendapatkan perhatian serius setelah Edward W. Said menerbitkan gagasannya melalui buku Orientalisme pada tahun 1978. Topik-topik yang dikaji dalam kajian ini selain orientalisme adalah mengenai kelompok subaltern, ras, imperialisme, dan lain-lain yang secara praksis juga menumbuhkan spirit humanisme dalam perjuangan dan pembelaan terhadap (mantan) bangsa-bangsa terjajah serta kaum-kaum terpinggirkan.
Untuk memahami poskolonial, terlebih dahulu kita pahami konsep kolonialisme. Dalam Oxford English Dictionary (OED), kolonialisme berasal dari bahasa Latin Colonia yang berarti pertanian atau pemukiman. Konsepsi ini kemudian diartikan sebagai penaklukan tanah penduduk asli oleh penduduk pendatang. Dalam penaklukan ini, terjadi relasi berupa praktek-praktek dominasi dan pemposisian identitas penduduk jajahan sebagai objek baik dalam kesadaran maupun gagasan. Hal inilah yang menjadikan penduduk jajahan selalu menempati posisi subordinat dalam sebuah relasi oposisi biner penjajah (barat) dan terjajah (timur). Subordinasi ini sendiri terjadi hanya dalam aspek politik, ekonomi, dan militer, melainkan juga gagasan, wacana, dan ideologi.
Kekuasaan politik kolonial menjadikan jejak-jejak kolonialisme menjelma sebagai warisan yang harus ditanggung oleh negeri yang dijajah setelah negeri itu merdeka dan menjadi negara sendiri, seperti ditulis Loomba: Negara bangsa yang baru merdeka hanya membagikan buah secara selektif dan timpang kepada rakyat.Digulingkannya pemerintahan kolonial tidak secara otomatis membawa perubahan kea rah perbaikan status perempuan, kelas pekerja, atau petani di kebanyakan daerah jajahan.
Poskolonialisme merupakan kajian yang merujuk pada semacam penegasan terhadap simptom (gejala-gejala) kekuasaan dalam ruang epistemologi dan pedagogi yang berwajah kolonial. Bentuk kekuasaan ini tampak dalam kondisi hegemoni dan dominasi suatu identitas baik itu ras maupun peradaban yang menghasilkan dikotomi dan dikte citra diri terhadap yang lain (other). Dalam hubungan kekuasaan kolonial tentang pengetahuan dan peradaban pihak lain, Loomba mengatakan bahwa kolonialisme membiaskan produksi dan membangun kondisi-kondisi bagi penyebaran dan penerimaannya. Proses-proses yang dipakainya untuk melakukan hal itu mengakui terjadinya kekuasaan kolonial dan interaksi-interaksi kompleksnya dengan epistemologi, ideologi, dan cara melihat “yang lain”.
Cara melihat “yang lain” dipengaruhi oleh adanya oposisi biner dimana hal ini mengartikan tanda-tanda berdasarkan penanda lainnya seperti laki-laki >< perempuan, hitam >< putih, rasional >< irasional, dan penjajah >< terjajah. Logika penjajah menempatkan posisi penduduk jajahan dalam posisi “yang lain” tersebut sehingga mereka juga memperlakukannya tidak sebagimana adanya (objektif), melainkan bagaimana seharusnya (subjektif). Bagaimana seharusnya penduduk jajahan terlihat dari beban historis negara atau bangsa baru saat penguasaan politik kolonial berakhir, dimana sistem pemerintahan, formasi sosial, bahasa, dan bahkan persepsi pemerintah baru berasal dalam memandang rakyatnya, dilakukan dengan cara pandang penjajah terhadap penduduk jajahan.
Robert J.C. Young mencoba memberikan pemahaman baru terhadap konsep kolonialisme tidak hanya sebagai penguasaan barat terhadap timur, melainkan bersifat lintas ruang dan waktu.
Kondisi-kondisi jejak etnik dan cultural pre-given kolonialisme inilah yang berpengaruh besar dalam membentuk identitas negara baru tersebut ketika negara tersebut merdeka (identitas poskolonial). Dampak psikologis, ekonomis, dan politis yang menjadi warisan kolonial ini sendiri berbeda dan memiliki kekhasan masing-masing di setiap negara bekas jajahan. Hal ini dipengaruhi oleh strategi kolonial yang dijalankan serta relasi yang terbentuk antara kedua negara.
Gayatri Sivak dalam essainya “Can Subaltern Speak” berhasil membongkar dan menemukan warisan kolonial ini dalam kaum perempuan di India. Dalam pembacaannya, kaum perempuan India tidak hanya ditampilkan sebagai kaum terpinggirkan paska era kolonialisme, tapi juga mengenai kegagalan nasionalisme elit dalam mentransformasikan dan memperbaiki kondisi sosial-ekonomi kaum perempuan subaltern, petani, dan komunitas kesukuan. Spivak berhasil membongkar sejarah dengan jelas dengan membedakan antara sejarah dan perjuangan nasionalis elit dengan kaum subaltern.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment