afforisma

"just my soliloquy for may be something in between"

Pages

My Blog List

Apocalypse

"Dunia ini bukanlah sesuatu yang hanya dilihat atau dikenal melalui konsep demi konsep melainkan sesuatu yang harus dibangun dan dibangun kembali dengan kerja yang tak putus-putusnya."
(Muhammad Iqbal)




Saya teringat sebuah adegan dalam film Apocalypto, pada adegan terakhir saat Jaguar Pow menyelamatkan keluarganya dan melarikan diri dari kejaran pasukan kerajaan Maya.

Ketika sampai di pantai, alih-alih menemui pelaut Spanyol yang tengah turun dari kapal dan menuju daratan, ia memilih untuk lari ke hutan, untuk memulai kehidupan yang baru. Jika film tersebut ada kelanjutannya, pilihan Pow akan terbukti benar. Karena pelaut-pelaut Spanyol itulah yang kemudian menghancurkan peradaban Maya saat itu, secara katastropik, hingga tak tersisa sama sekali.

Namun apocalypse (seperti yang dimaksudkan dalam film tersebut) sendiri sebenarnya bukan berarti kiamat atau kehancuran total seperti yang banyak dipahami selama ini. Apocalypse adalah tentang penyingkapan- dari istilah Yunani apokalupsis, pembukaan rahasia. Dan mungkin karena itu pula alur utama film tersebut bukanlah tentang keruntuhan dan penghancuran peradaban Maya, tapi tentang Pow dalam menyelamatkan dan memperjuangkan hidupnya.

Perintisan, kemajuan, hingga keruntuhan peradaban telah mewarnai sejarah sejak kehadiran manusia di muka bumi pada 70 ribu sampai 40 ribu tahun yang lalu hingga kini. Terlepas dari peradaban Atlantis yang (masih) spekulatif, bukti-bukti sejarah telah membuktikan bahwa manusia berulang kali telah mencapai puncak kemajuan peradabannya. Teknologi maju pernah dibuat, kesejahteraan yang tinggi pernah dicapai, kekuasaan yang kuat pernah didapat, namun hampir tak ada peradaban tinggi tersebut yang mampu bertahan hingga saat ini.

Peradaban Mesir misalnya. Kebesaran dan kejayaan kerajaan Mesir sejak kurang lebih 3.000 tahun sebelum masehi dengan Fir’aun-Fir’aunnya yang pongah kini tinggal menyisakan spinx dan piramida yang sebagian diantaranya hanya berupa reruntuhan. Kondisi Mesir kini sangat jauh dari keadaan saat itu. Setelah cukup lama dijajah kolonial Inggris, Mesir selama 30 tahun dipimpin secara otoriter oleh Husni Mubarak, dan kini terjebak dalam anarkisme serta ketidakjelasan konsolidasi politik yang tak kunjung selesai.

Peradaban Yunani adalah contoh yang lain. Yunani yang dikenal sebagai tempat kelahiran para filsuf barat sehingga disebut sebagai asal peradaban barat, kini sedang kolaps. Kebijaksanaan dan tatanan politik yang harmonis yang dulu melekat dalam kehidupan polis-polis Yunani kini telah menjelma menjadi kekacauan akibat kebijakan ekonomi yang salah kaprah, yang kemudian menjadi krisis ekonomi yang mulai merembet ke ranah politik dan sosial serta memicu efek domino dan menjerat negara-negara lain.

Pun dengan kerajaan Maya seperti yang dikisahkan dalam film Apocalypto diatas.

Banyak tesis dan teori, mulai yang dilengkapi dengan bukti-bukti arkeologis, yang masih spekulatif, maupun yang dibumbui dengan hal-hal konspiratif, yang berusaha menjelaskan berbagai fenomena keruntuhan peradaban tersebut. Namun paling tidak ada satu titik temu untuk mengelaborasikan bermacam penjelasan tersebut. Keruntuhan selalu dimulai dari disharmoni- ketidakseimbangan- baik itu horizontal, vertikal, maupun transendental.

Disharmoni horizontal terjadi ketika fragmentasi antar masyarakat menguat baik karena ketimpangan ekonomi maupun polarisasi identitas kelompok. Konflik antar sekte dan pemahaman ideologi menandai runtuhnya kejayaan peradaban Islam setelah era kekhalifahan baik khulafaur rasyidin, Baghdad, Andalusia, maupun Utsmani. Disharmoni vertikal terjadi ketika pemimpin politik berubah menjadi penguasa zalim. Kisah Fir’aun Mesir dan raja kerajaan Maya cukup jelas untuk menjadi contoh dalam hal ini. Disharmoni transendental mencakup aspek-aspek yang lebih luas. Dalam berbagai kitab suci agama, sikap-sikap despotik dan destruktif selalu dijanjikan balasan.

Mengenai hal ini pernah diutarakan dengan jelas oleh Ibn Khaldun dalam karyanya Muqaddimah. Ia mulai merintis teori siklus sejarah awal dimana ia menjelaskan ketika negara mencapai tahapan sejahtera yang dilanjutkan periode tentram dan damai, maka hal tersebut akan diikuti adanya generasi penikmat yang mulai tidak menyadari kepentingan negara dan akhirnya akan lepas sama sekali baik secara moral maupun emosional dari negara. Hal ini kemudian akan menyebabkan negara tersebut memasuki tahap hidup boros dan berlebihan yang berujung pada degradasi dan runtuhnya negara tersebut.

Dalam era yang lebih modern, Arnold Toynbee berusaha melanjutkan pekerjaan Ibn Khaldun tersebut. Ia, yang juga sangat mengagumi Ibn Khaldun, berusaha memperluas level analisis negara ke ranah peradaban. Namun berbeda dengan pendahulunya tersebut, ia percaya bahwa peradaban mati akibat bunuh diri, bukan oleh pembunuhan. Ketika sebuah peradaban merespons tantangan, ia tumbuh. Tapi ia kemudian mulai berjalan ke arah titik nadirnya saat para pemimpin mereka mulai berhenti bereaksi kreatif. Peradaban kemudian akan benar-benar tenggelam karena nasionalisme sempit, militerisme, dan tirani minoritas yang zalim.

Minimal dari dua tesis klasik tersebut diatas, kita harusnya telah memiliki gambaran yang cukup jelas mengenai kondisi peradaban kita saat ini. Filosofi yang menjadi dasar keberadaban manusia hanya tinggal nama. Kerangka besar ideologis dan tatanan etis benar-benar dihancurkan pragmatisme yang telah menjadi pijakan baru umat manusia.

Sinyal-sinyal keruntuhan peradaban sebenarnya telah lama berbunyi: dalam aspek politik ditandai dengan oligarki dalam jubah demokrasi; dalam aspek ekonomi ditandai dengan krisis dengan intensitas yang semakin kuat dan sering; dalam aspek sosial ditandai ketimpangan dan koefisien gini yang semakin besar; dalam aspek energi ditandai dengan peak produksi minyak dan akan berlanjut pada krisis energi; serta dalam aspek lingkungan ditandai dengan mulai berkurangnya daya dukung alam terhadap kehidupan manusia.

Sikap barbarian muncul sebagai respon dari sinyal-sinyal kejatuhan peradaban yang semakin kencang tersebut. Nilai-nilai keberadaban perlahan mulai hilang. Kita tanpa sadar telah melakukan barbarianisme kolektif tersebut yang ditandai dengan budaya konsumerisme, keserakahan ekonomi, pragmatisme politik, perusakan lingkungan, dan eksklutivitas identitas.

Harusnya kita tak perlu terlalu peduli pada perdebatan apakah kiamat akan terjadi tanggal 12 atau 21, atau kapanpun. Pada kenyataannya, peradaban kita sendiri lah yang telah lama merintis jalan ke kiamat tersebut. Peradaban kita dengan seperangkat kerangka teoritis canggih politik-ekonomi-teknologi nya, serta klaim-klaim seperti modernitas atau kemajuan, sungguh tak lebih dari sebuah kepalsuan.

Dengan pilar absurditas tersebut, peradaban kita sebenarnya telah menggali kubur untuk masa depannya sendiri. Dan kiamat yang kita ciptakan dan pastikan sendiri tersebutlah yang harusnya lebih layak untuk kita khawatirkan, dari pada kiamat yang sebenarnya, yang diluar kuasa kita.

Dari sisi ini saya percaya bahwa Apocalypse sebenarnya bukanlah tentang sebuah kejadian. Melainkan sebuah proses sejarah yang telah menampakkan tanda-tandanya sejak lama, yang sedikit sekali dari kita yang menyadarinya. Wallahu a’lam.

Noor Afif Fauzi
gambar diambil dari sini.

2 comments:

thanks for the new comprehension

 

assalammualaikum. bagus sekali artikelnya, mungkin saya izin share, hehe, kalo bisa

 

Post a Comment