afforisma

"just my soliloquy for may be something in between"

Pages

My Blog List

Minzhu Nushen


Mungkin Hegel salah ketika menggambarkan sejarah sebagai ruh penggerak gerigi kehidupan, menuju pencerahan. Paling tidak bagi korban Tiananmen, baik yang meninggal maupun yang menjadi buronan, sejarah tak lebih dari masa silam yang direka, atau kenangan yang menghantui, atau harapan masa depan yang suram.

Sejarah memang mencatat, namun sebagian besar catatan tersebut sengaja dihapus atau dikarang ulang. Mereka yang berani, bahkan untuk sekedar mengingatnya, kerap dicap sebagai penjahat, penghianat, atau kontra revolusioner. Dan Tiananmen (pernah) menjadi saksi hal itu, roh sejarah yang menampakkan wajah suram dan tak ramah.

Lapangan yang didirikan tahun 1420 itu, awalnya dirancang sebagai simbol kebesaran dinasti Ming. Tianmaen yang secara harfiah berarti ‘gerbang kedamaian surgawi’, mungkin salah diartikan sebagai ‘gerbang stabilitas politik dan kekuasaan’. Dan mungkin juga karena itulah, lapangan yang harusnya berfungsi sebagai ruang publik, berubah menjadi ajang pembungkaman dan penghakiman bagi yang tidak sepakat dengan penguasa. Dan hal itu terbukti, pada tragedi Tianmaen 4 Juni 1989.

Kejadian itu dimulai beberapa bulan sebelumnya, pada April 1989, saat ratusan demonstran berkumpul di lapangan Tianmaen. Di tahun dimana angin kebebasan berhasil meruntuhkan tembok komunisme di berbagai belahan dunia tersebut, awalnya mereka di sana untuk memperingati kematian salah satu pemimpin mereka, Hu Yao Bang. Namun, ketidakpuasan terhadap korupsi dan perekonomian China, serta inspirasi kejatuhan komunisme di Jerman dan Uni Soviet, membuat jumlah demonstran terus bereskalasi. Jutaan orang, sebagian besar pekerja dan mahasiswa, selama tujuh pekan terus membanjiri Beijing, berharap untuk sebuah perubahan. Di Tianmaen mereka menggelar unjuk rasa, melakukan mogok makan, mendirikan tenda, dan membuat sebuah patung untuk mempertegas komitmen dan tujuan mereka.

Dua puluh tiga tahun yang lalu, Minzhu Nushen, patung dewi kebebasan itu pernah berdiri kokoh di tengah belantara lautan manusia di lapangan Tiananmen, tepat berhadapan dengan potret Mao, pemimpin besar China. Namun, ikon yang melambangkan demokrasi dan harkat manusia yang bebas itu, hanya sanggup berdiri selama lima hari. Angin perubahan tak mampu merobohkan kokohnya tembok besar komunisme China.

Pada 4 Juni 1989, sang dewi itu tumbang bersamaan dengan meluruhnya lautan manusia yang berubah menjadi lautan darah. Tentara Pembebasan Rakyat (People Liberation Army) memasuki kota, menyerbu dan menembaki demonstran. Batalyon tank melaju ke tengah lapangan, tanpa ampun melindas para demonstran yang tidak mau membubarkan diri. Teriakan kebebasan berubah menjadi jerit ketakutan. Hari itu, militer memang diperintah untuk membubarkan para demonstran yang diberi tenggat waktu hingga pukul 06.00 pagi.

Dan militer berhasil menjalankan misi tersebut. Ratusan orang, meski tak diakui pemerintah China, mati.

Namun kematian mereka tak menjadi sia-sia. Oleh mereka, Tiananmen menjelma menjadi tak sekedar sebuah lapangan, melainkan juga ranah pertarungan ingatan. Dimana ruh sejarah bertarung sengit dengan mereka yang ingin membungkamnya.

Dan kini patung tersebut memang telah runtuh. Namun bagi sebagian orang, Minzhu Nushen sampai kapanpun akan tetap tegar berdiri di lapangan tersebut. Dan mungkin hanya dengan keyakinan itu, kelak ia benar-benar bisa berdiri lagi di sana. Memenuhi janji menjaga harkat dan martabat manusia. Serta mengingatkan Tiananmen pernah benar-benar menjadi pintu kedamaian surgawi, lewat kematian.(afz)

0 comments:

Post a Comment