afforisma

"just my soliloquy for may be something in between"

Pages

My Blog List

Madzhab Kasihan: Meretas Jalan Ilmu Sosial Profetik

Tidak sengaja menemukan file tulisan beberapa tahun silam, saat masih menjadi Kabid Iptek IMM Komisariat Fisipol UMY. Semoga masih relevan...



Kelahiran positifisme yang dibidani oleh Auguste Comte pada abad 19 di Perancis telah menjadi awal revolusi intelektual dunia. Dengan lima “rukun iman” nya, yakni logika, empirisme, realitas, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai, ilmu sosial mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hal ini pula yang menjadikan kemajuan pesat peradaban masyarakat Eropa.

Namun paradoks dengan kemajuan intelektual tersebut, positifisme yang memiliki spirit awal sebagai agama humanisme malah gagal menempatkan sisi kemanusiaan sebagai prioritas utama karena menjadikannya sekedar fakta, data, dan angka. Hal ini terlihat dari berbagai krisis yang terjadi baik itu krisis ekonomi, sosial, dan moral.

Ketiadaan metafisika merupakan salah satu faktor utama ekses positifisme ini. Comte sendiri hanya menempatkannya sebagai tahap kedua perkembangan pengetahuan sebelum tahapan positifis dan menganggapnya sebagai pseoudo-proposition yang tidak mempunyai makna. Etika dan moral tidak memiliki tempat dalam pengetahuan ilmiah. Nilai menjadi sesuatu yang tak perlu dijamah karena itu hanyalah masalah subjektif dan merupakan domain teolog dan filsuf semata.

Reduksi pengetahuan dunia yang dilakukan oleh positifisme tentu saja melahirkan banyak kritikan terhadapnya seperti Nietszche dengan eksistensialismenya dan pemikir-pemikir post-modern serta post-positivis. Namun tawaran-tawaran pemahaman baru ini hingga saat ini hanya berperan sebagai kritik ketimbang sebagai pilihan baru. Kritik terhadapnya pun cukup kuat terkait dengan kerelatifan nilai dan penghilangan aspek-aspek transendental. Paradigma Islam merupakan jawaban terhadap ekses-ekses ini. Risalah yang lahir 14 abad yang lalu merupakan jawaban dari segala patologi dan pencarian manusia akan hakikat kebenaran pengetahuan.

Islam, bahkan oleh sebagaian besar umatnya sendiri, sering dianggap dan dibatasi sebagai sebuah agama sakral yang hanya mengurusi persoalan akhlaq dan moral serta implikasi nya berupa surga dan neraka. Pemahaman Al Qur’an hanya sebatas pada teks nya semata dan mematikan tafsir serta ta’wil yang berusaha mengangkatnya dari bias sejarah. Tentu saja hal ini mengingkari hakikat kitab suci ini sendiri, semata-mata mensakralkannya dan menjadikannya warisan sejarah. Membuka pintu ijtihad seluas-luasnya merupakan satu-satunya solusi terhadap hal ini, dan caranya adalah dengan ilmu sosial profetik.

Cita-cita profetik ini seperti terkandung dalam surat Ali Imron ayat 110: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah. Menurut kuntowijoyo, ayat ini memiliki tiga muatan yang menjadi karakteristik keilmuan Islam yakni humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minuna billah) untuk rekayasa masyarakat sosio-etik di masa depan. Untuk mewujudkan cita-cita ini, agar tidak hanya menjadi sebuah visi normatif, dibutuhkan sebuah pendekatan analitik dengan menjadikan ayat-ayat Al Qur’an sebagai postulat baik teologis maupun teoritis. Dan wahyu harus ditempatkan dalam epistemologi keilmuan.

Hal inilah yang luput dari epistemologi keilmuan barat sehingga yang terjadi adalah dialektika yang tidak mungkin menemukan sintesis pengetahuan. Proses yang tidak kunjung berhenti dan berkutat pada permasalahan tesis-sintesis yang kadang mengesampingkan kemanusiaan selama pencarian ini. Tak jarang pula manusia terjebak dalam belenggu relatifisme, sistemik, atau determinisme yang menjadikan manusia seolah lepas dari hakikat kemanusiaannya. Liberasi harus dilakukan dari belenggu-belenggu ini untuk mengembalikan nilai-nilai humanisme dengan tetap berpegangan pada tali transendental.

Satu abad yang lalu, aksiologi misi profetik ini telah dilaksanakan oleh Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta sebagai sebuah gerakan pembebasan yang diharapkan mampu menerjemahkan visi normatif profetik ini. UMY yang juga lahir di rahim perjuangan yang sama nampaknya masih terlena dengan keilmuan positifistik barat. Jarang sekali tesis-tesis prophetik dilahirkan dari akademisi UMY. Ilmuisasi Islam harus menjadi agenda utama, tak hanya untuk memberikan identitas bagi universitas ini sebagai lembaga Muhammadiyah namun juga untuk mengembalikan hakikat kemanusiaan ke tempat yang sepantasnya. Sekolah Prophetik yang dilaksanakan oleh IMM Komisariat Fisipol UMY diharapkan menjadi pelopor menjadikan Mahzab Kasihan sebagai salah satu alternatif solusi menjadikan Islam sebagai jawaban atas permasalahan kemanusiaan. (afz)

0 comments:

Post a Comment