afforisma

"just my soliloquy for may be something in between"

Pages

My Blog List

Constructivism: It’s Contents and Discontents



Prawacana

Hingga menjelang berakhirnya era perang dingin, lanskap teoritis hubungan internasional paling tidak ditandai dengan tiga tradisi besar yang berakar kuat dari liberalisme (pluralisme), realisme, dan marxisme. Ketiga tradisi ini memiliki peranannya tersendiri dalam perdebatan besar ketiga (third debate) hubungan internasional.

Dalam tipologi yang dibuat Jackson dan Sorensen (1999), ranah pertama dalam perdebatan tersebut diwarnai debat paradigmatik antara neoliberal-neorealis dengan strukturalis (markis) sementara ranah kedua diwarnai debat filosofis-epistemologis antara positivis dengan postpositivis. Kegagalan tradisi-tradisi ini dalam menjelaskan konteks berakhirnya perang dingin berimplikasi munculnya konstruktivisme sebagai paradigma alternatif (baca: middle ground, lihat: Zehfuss, 2004: 5), sekaligus merubah trikotomi paradigma hubungan internasional (liberal-realis-marxis) menjadi dikotomi (rationalis-utilitarian dan konstruktivis) (lihat Hobson, 2000: 145).

Melacak akar konstruktivis

Pelopor dan sekaligus pemikir konstruktivis yang berpengaruh antara lain Emmanuel Adler, Nicholas Onuf, John Gerard Ruggie, dan Alexander Wendt (Chernoff, 2007). Menurut Smit dalam Burchill (2005: 195), ontologi konstruktivisme dibangun paling tidak oleh tiga asumsi pokok. Pertama, alih-alih material struktur, konstruktivisme melihat bahwa struktur normatif dan ide memiliki peranan penting dalam membentuk dan menentukan perilaku sosial dan politik aktor.

Hal ini sesuai dengan Wendt (1999: 1) yang menyatakan bahwa struktur hubungan antar manusia ditentukan terutama ole ide bersama (shared ideas) dari pada kekuatan materi, sekaligus melihat bahan material hanya bisa mendapatkan makna dari struktur ide bersama (ibid: 75). Price juga mengemukakan hal yang hampir serupa. Ia mendefinisikan konstruktivisme sebagai tradisi sosial-politik yang melihat dunia tidak sekedar terdiri dari aspek material tetapi juga fenomena ide sosial melalui bagaimana kita menginterpretasi dunia materi dan mengkonstruksi masyarakat (Price, 2008:19).

Kedua, konstruktivisme memahami bagaimana struktur non material membentuk identitas aktor sangat penting karena identitas akan menentukan kepentingan dan selanjutnya membentuk tindakan. Kepentingan (sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku politik) bukan menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-aktor politik, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut.

Asumsi inilah yang membedakan dari rasionalis yang percaya bahwa kepentingan adalah sesuatu yang given dan melekat begitu saja pada sebuah aktor. Kembali ke Hobson (2000:146), ia melihat bahwa negara tidak otomatis mengetahui kepentingannya secara apriori. Hopf (1998: 181) berargumen bahwa kepentingan negara hanyalah bagian yang melekat dari proses pembentukan (konstruksi) identitas. Wendt mengelaborasi lebih lanjut bagaimana identitas membentuk kepentingan melalui praktek intersubyektif (lihat Wendt, 1992: 183).

Ketiga, agen dan struktur secara timbal balik saling menentukan. Struktur ide dan norma bisa saja menjadi basis identitas dan kepentingan aktor, tapi struktur tersebut tak akan hadir jika tak ada praktek dari aktor yang diketahui (Smit dalam Burchill: 197). Secara mendasar, hal inilah yang membedakan dengan rasionalis yang menekankan hanya pada agen maupun strukturalis yang menekankan hanya pada struktur. Teori strukturasi Giddens (1984), yang juga sangat mempengaruhi konstruktivis, memberikan penjelasan yang cukup baik mengenai agen dan struktur ini.

Mengenai agen, ia berpendapat bahwa daya pengetahuan para agen manusialah yang terutama paling banyak terlibat dalam penataan rekursif praktik-praktik sosial (ibid: 4). Sementara tentang struktur, ia lebih banyak mengambil pengertian dari tradisi strukturalis dibandingkan dengan behavioralis yang merujuk struktur pada kelengkapan-kelengkapan yang memungkinkan pengikatan ruang dan waktu dalam sistem sosial. Pelembagaan norma dan ide menentukan makna dan identitas aktor dan pola aktivitas ekonomi, politik, dan budaya yang berhubungan dengan aktor tersebut (Boli, Meyer, dan Thomas 1989: 12 dalam Smit dalam Burchill: 197) dimana hal ini tercipta melalui interaksi hubungan timbal balik (Wendt, 1992: 406 dalam ibid: 198).

Sebagai perspektif yang lahir dari rahim perdebatan debat ketiga (third debate) hubungan internasional, aspek epistemologi menjadi salah satu perhatian utama dari konstruktivisme. Sebagai implikasi dari proposisi ontologi di atas, konstruktivisme meyakini keberadaan fakta sebagai interpretasi (verstehen) sosial. Sebuah fakta sebenarnya telah diinterpretasikan dalam kehidupan sosial. Hal ini termasuk mengenai fakta yang ingin diteliti oleh seorang ilmuan yang juga telah berupa hasil proses intersubjektif dia dalam interaksi sosialnya (lihat Adler, 1997: 326).

Secara metodologis, konstruktivisme menolak prinsip-prinsip positivisme dalam menentukan kriteria sebuah ilmu pengetahuan. Konstruktivisme menolak doktrin the unity of science, yang menghendaki tatanan pengetahuan yang determinis, rasionalis, dan empiris. Kepercayaan pada prinsip tersebut hanya akan mereduksi sekaligus mematikan keberadaan agen dan struktur sekaligus hubungan antar keduanya.

Secara aksiologis, konstruktivisme menolak sekaligus keinginan untuk menciptakan pengetahuan yang bebas nilai (the fact‐value distinction) dan hukum universal (timeless dan spaceless/ law‐like generalization) seperti diinginkan oleh kaum Kuhnian maupun yang relatif nilai seperti yang digerakkan oleh kaum postmodern. Mengikuti konsepsi “‘B‐Big’ Truth” dan “‘t‐small’ truth” dari Price and Reus‐Smith (1998), yang perlu dan hanya dapat dilakukan oleh ilmuan, menurut konstruktivis, adalah membuat ‘kebenaran kecil’ (benar ‘b‐kecil’).

Review Kritis Konstruktivis

Sampai disini, cukup jelas jika disimpulkan sementara bahwa konstruktivisme bukan sekedar sebuah teori. Perbedaan dan tantangan yang cukup mendasar bagi paradigma mainstream membuat serangan balik terhadap konstruktivisme juga cukup gencar. Pertama, meskipun Wendt (1999) memiliki ambisi untuk menjadikan konstruktivisme sebagai teori komprehensif untuk semua aspek ilmu sosial, namun perhatian yang terlalu terpusat pada aspek filosofis menjadikan perspektif ini seolah hanya berupa kerangka analisis (analytical framework), tidak memiliki cukup kemampuan dalam kerangka teknis untuk menjadi sebuah teori yang mapan.

Kedua, adanya tuduhan eklektik yang melekat pada perspektif ini. Hal ini bisa dilihat dari asumsi-asumsi yang digunakan cenderung merupakan kesimpulan substansi dari perspektif-perspektif lain. Kemiripan ini dilihat Chernoff (2002: 152-153) sebagai kebingungan terselubung konstruktivisme dengan para kompetitornya seperti neorealist dan neoliberal. Gagasan World State Wendt dianggap Chernoff sebagai apresiasi tertinggi terhadap fenomena organisasi internasional yang menjadi prinsip kaum liberal (lihat ibid).

Ketiga, sebagaimana diungkap Smit, konstruktivisme memiliki kesulitan dalam hal metodologi. Terdapat perbedaan pendekatan dalam konstruktivis sendiri untuk menganalisa konsep-konsep penting dan mendasar seperti norma, ide, dan nilai serta intersubjektivitas. Jurang yang cukup lebar terjadi ketika banyak pakar konstruktivis yang menggunakan pendekatan yang sangat berbeda, antara empiris quantitatif dengan pendekatan geneologis (Johnston, 1995 dan Price, 1997 dalam Smit: 204).

Terakhir, menggunakan argument dari teori kritis, konstruktivis tidak memiliki kejelasan sikap aksiologis. Linklater (1992a) mengidentifikasi tiga dimensi dalam proyek teori kritis: tugas normatif untuk menilai dan meninjau kembali justifikasi moral dari organisasi politik terutama negara berdaulat, tugas sosiologis untuk memahami bagaimana komunitas moral baik lokal, nasional, maupun global memperluas cakupan, dan tugas praksis (praksiologi) untuk menghilangkan penghalang dan memperluas kesempatan bagi berjalannya tindakan politik yang emansipatif. Namun meskipun secara geneologi memiliki akar pemikiran dari filsafat kritis, konstruktifis cenderung mengarah sebagai kerangka analisis semata, serta kehilangan pegangan pada etika dan moral yang menjadi prinsip penting teori kritis ini.

Kesimpulan

Harus diakui, meskipun cukup banyak kritikan terhadap konstuktivis, perspektif ini memiliki daya pikat tersendiri sebagai salah satu perspektif mutakhir hubungan internasional. Kecenderungan sebagai perspektif normatif sebagaimana banyak dituduhkan, malah memberikan kesempatan baginya untuk meraba ruang-ruang epistemologis baru yang tak pernah terjamah perspektif-perspektif mainstream. Identitas yang menjadi konsep pokok juga memberikan ruang emansipatoris yang baru bagi kemunculan teori-teori yang melihat dan menghargai aspek lokalitas, meskipun maksud emansipatoris disini belum mencapai tahapan untuk bisa disebut sebagai emansipasi dalam perspektif kritis.

Referensi:

Burchill, Scott (ed), 2005, Theory of International Relation (3rd edition), New York: Palgrave Macmillan
Chernoff, Fred, 2007, Theory and Metatheory In International Relations: Concepts and Contending Accounts, New York: Palgrave Macmillan
Hobson, John M., 2003, The State and International Relation, Cambridge: Cambridge University Press
Jackson, Robert and Georg Sorensen, 1999, Introduction to International Relations, Oxford: Oxford University Press
Linklater, A, 1992, The Question of the Next Stage in International Relations Theory: A Critical Theoretical Point of View, Millennium 21
Price, Richard M. (ed.), 2008, Moral Limit and Possibility in World Politics, Cambridge: Cambridge University Press
Wendt, Alexander, 1999, Social Theory of International Politics, Cambridge: Cambridge University Press
Zehfuss, Maja, 2004, Constructivism in International Relations: The politics of Reality, Cambridge: Cambridge University Press

Jurnal:
Adler, Imanuel, 1997, Seizing the Middle Ground: Constructivism in World Politics, European Journal of International Relations, Vol.3 (3)
Hopf, Ted, 1998, The Promise of Constructivism in International Relations Theory, International Security, Vol. 23 (1)
Price, Richard and Christian Reus‐Smit, 1998, Dangerous Liaisons?: Critical International Theory and Constructivism, European Journal of International Relations, Vol.4 (3)

Noor Afif Fauzi
gambar diambil dari sini.

Z



kita dan jarak
pertanyaan,
kehadiran

malam yang masih panjang

yang kekal,
yang fana

semua menyatu,
satu

seperti mimpi-mimpi,
atau malam hari

atau setapak,
dan belukar di awal pagi

hadirmu abadi,
tanpa narasi

Noor Afif Fauzi (April, 2013)
gambar diambil dari sini.

Korporasi Global: Antara Ukuran dan Kekuatan



Keberadaan Perusahaan Multinasional (MNCs) sebagai salah satu aktor elit ekonomi politik global memunculkan banyak perdebatan. Pihak yang pro melihat keberadaan MNCs secara positif. Dunning dalam Oatley (2003) misalnya, menyatakan bahwa kehadirannya sangat penting menyangkut perannya dalam perdagangan global. Senada dengan Dunning, Kristensen dan Zeitlin (2004) mengatakan bahwa MNCs adalah agen utama globalisasi. Sebagai garda depan globalisasi, korporasi ini akan membuka kanal konektivitas, bisnis, investasi, dan perdagangan yang akan memberikan keuntungan bagi perekonomian.

Berbeda dengan argumen sebelumnya, pihak yang bisa digolongkan ke dalam ‘anti globalis’ seperti Hiatt (2007) secara tegas menyebut bahwa korporasi besar (baca: MNCs) tersebut, dengan segala cara, ingin menguasai dunia untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini diamini oleh Rais (2008) yang mengutip Korten yang menyatakan bahwa korporasi besar tersebut melakukan langkah-langkah korporasinya untuk mengkolonisasi dunia. Salah satu argumen utama dari anti globalis ini adalah keberadaan MNCs perlahan tapi pasti mulai menguasai perekonomian global dan mereduksi porsi ekonomi negara.

Paul de Grauwe (University of Leuven and Belgian Senate) dan Filip Camerman (Belgian Senate) dalam papernya tahun 2002: How Big the Multinational Companies? menyatakan bahwa argumen pihak anti globalis yang menyatakan bahwa kekuatan negara tereduksi dengan adanya MNCs adalah tidak berdasar. Dalam tulisan tersebut mereka menyebut bahwa membandingkan GDP suatu negara dengan volume penjualan (sales) merupakan perbandingan yang tidak adil bagi MNCs. Hal ini karena dalam perbandingan tersebut akan terjadi perhitungan ganda (double/ triple accounting) sehingga kelebihan perkiraan (over estimating) sangat mungkin terjadi.

Untuk persoalan ini mereka menawarkan perhitungan ukuran korporasi dengan mengukur (nilai tambah) value added dari MNCs. Setelah menentukan dasar perhitungan ini, mereka membandingkan GDP negara yang diperoleh dari bank dunia dan ‘Fortune Magazine’s Global 500 list’ tahun 2000 yang menyatakan bahwa dari 100 kekuatan ekonomi besar 63 diantaranya adalah negara dan sisanya adalah korporasi. Dari sini mereka menyimpulkan bahwa argumen utama pihak anti globalist yang menyatakan bahwa perekonomian dunia dikuasai oleh MNCs adalah salah

Argumen lain mereka adalah presentase dan ukuran kekuatan MNCs dibandingkan negara memiliki kecenderungan untuk menurun. Pertumbuhan perekonomian negara lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan korporasi dan nilai tambah (value added) 100 MNCs terbesar tahun 2000 hanya 4% dari nilai tambah (value added) 37 negara. Yang menjadi persoalan selanjutnya apakah paper ini meruntuhkan sama sekali argument pihak anti globalist?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa argumen dalam paper Grauwe dan Camerman tersebut yang perlu ditinjau ulang. Pertama, permasalahan data. Seperti yang mereka akui di paper tersebut, mereka kesulitan mendapatkan perolehan informasi yang relevan untuk semua perusahaan. Persoalan lain, yang juga mereka akui adalah kesulitan data untuk perusahaan jasa. Hal ini tentunya cukup pelik dan problematik, mengingat perusahaan jenis ini juga memiliki peranan yang tidak kalah penting dalam perekonomian. Dalam krisis global 2008 misalnya, justru perusahaan investasi (i.e. Goldman Sachs)-lah yang menjadi salah satu penyebabnya. Belum lagi peran perusahaan jasa lain seperti bank dan investasi.

Kedua, meskipun dinyatakan bahwa pada tahun 2000 (sesuai data dalam paper tersebut) dinyatakan terdapat 44 negara yang memiliki GDP lebih besar dari nilai tambah (value added) MNCs, masih banyak terdapat negara lain yang berada di bawah kekuatan ekonomi korporasi. Goodwin dalam Chandlerz dan Mazlish (2005) menyatakan bahwa Exxon Mobil (urutan ke-45) melampaui Pakistan (urutan ke-46); General Motors (urutan ke-47) melampaui Peru, Aljazair, Selandia Baru, Republik Ceko, dan Uni Emirat Arab yang menempati enam urutan selanjutnya. Komparasi yang dikatakan Grauwe dan Camerman ini tentu saja tidak adil dan relevansinya berkurang bagi negara-negara tersebut termasuk negara lain yang berada di luar daftar ke 44 negara dalam daftar teratas data tersebut.

Ketiga, perbandingan negara dan korporasi juga harus memperhatikan faktor distribusi kapital per kapita di dalamnya. Negara yang membawahi jutaan hingga ratusan juta warganya tentunya tidak sepadan dibandingkan dengan korporasi yang membawahi jauh lebih sedikit orang (karyawan). Belum lagi akumulasi kapital korporasi yang terpusat di elit-elit perusahaan tertentu yang juga harus menjadi pokok perhatian.

Keempat, seperti juga yang diakui dalam tulisan tersebut, komparasi negara sebagai institusi politik dan korporasi sebagai institusi ekonomi tak sekedar bisa dipahami secara kuantitatif. Perbandingan ukuran ekonomi- yang dalam hal ini menggunakan asumsi dalam paper tersebut- perusahaan yang lebih besar dari korporasi sama sekali tak mewakili perbandingan kekuatan antara keduanya. Perbedaan ini tak jarang mereduksi relasi power antara keduanya. Terlebih di negara kecil dan berkembang, agensi dan daya tawar aktor negara relatif lemah bahkan terhadap MNCs yang tidak masuk dalam 100 besar daftar Forbes. Indonesia yang pada tahun 2012 memiliki GDP urutan ke 18 dunia (menurut world bank) tidak berdaya dalam renegosiasi kontrak dengan Freeport Mc Moran yang dalam indeks Forbes ‘hanya’ berada di urutan ke-235.

Terakhir, secara lebih mendasar, penggunaan GDP (gross domestic product) sebagai basis perhitungan perekonomian suatu negara- sebagai diskursus dominan dalam ekonomi- sebenarnya memiliki kontradiksinya tersendiri. Menurut McEachern (2000:146), GDP mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Secara sederhana, GDP adalah total nilai barang dan jasa yang dihasilkan tanpa melihat kepemilikan. Dari sini dapat disimpulkan, membandingkan nilai tambah (adding values) suatu korporasi dengan GDP negara juga merupakan hal yang tidak adil.

Meskipun bersifat transnasional, praktek korporasi MNCs pasti berlangsung di negara tertentu. Hal ini berarti, nilai perekonomian MNCs pun sebenarnya telah masuk dalam perhitungan GDP. Perbandingan dengan GNP (gross national product) sebenarnya lebih relevan dalam konteks ini. GNP adalah pendapatan nasional yang dihitung dengan mengeluarkan faktor pendapatan dari warga asing yang berdomisili di wilayah negara tersebut sehingga yang dihitung hanya nilai barang dan jasa yang dihasilkan warga negara tersebut. Dan tentu saja, akan jauh lebih relevan jika perbandingan dilakukan antara GNP per kapita negara dengan nilai tambah (adding values) per kapita dari tiap ‘warga’ korporasi tersebut.

Paling tidak dari analisis-analisis di atas dapat dipahami argumen anti globalis tidak sepenuhnya terpatahkan oleh analisis kuantitatif yang dilakukan oleh Grauwe dan Camerman dalam paper How Big the Multinational Companies?. Lebih lanjut, argumen pihak anti globalis memang dibangun dari dibangun dari analisis studi kasus, bukan sekedar perbandingan kasar statistik. Perkins (2004), Hiatt (2007), maupun Rais (2008) cukup memberikan gambaran meskipun kebanyakan kasus hanya dilakukan oleh beberapa MNCs, namun ekses yang dihasilkan berdampak baik itu sosial (i.e. konflik buruh, ketimpangan dengan warga sekitar), ekonomi (i.e. mematikan ekonomi lokal), lingkungan (i.e. kesulitan menuntut tanggung jawab lingkungan), politik (i.e. agensi negara yang menurun dan kesulitan pengawasan), maupun moral.

Referensi:
Buku:
Chandler, Alfred D., Bruce Mazlish, 2005, Leviathans: Multinational Corporations and the New Global History, Cambridge: Cambridge University Press
Hiatt, Steven (ed), 2007, A Game as Old as Empire: The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption, San Fransisco: Berrett Koehler Publishers
Kristensen, Peer Hull, Jonathan Zeitlin, 2004, Local Players in Global Games: The Strategic Constitution of a Multinational Corporation, New York: Oxford University Press
Oatley, Thomas, 2003, International Political Economy: Interest and Institutions in Global Economy, London: Longman
Perkins, John, 2004, Confessions of an Economic Hit Man, San Fransisco: Berrett Koehler Publishers
Rais, Mohammad Amin, 2008, Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia, Blimbing Sari: PPSK Press

Internet:
http://www.forbes.com/companies/freeport-mcmoran-copper/
http://www.corporatecrimereporter.com/corporate-crime-conference-national-press-club-may-3-2013/

Noor Afif Fauzi
gambar diambil dari sini.

Drone



Masa depan strategi perang tengah memasuki babak baru. Revolusi teknologi dalam militer menghadirkan persenjataan berteknologi tinggi menjadi salah satu isu utama selain selain tentang senjata konvensional dan nuklir. UAVs (Unmanned Aerial Vehicles), yang selanjutnya disebut dengan drone, menjadi salah satu pokok perhatian utama dunia akhir-akhir ini.

Penggunaan secara masif pesawat tanpa awak tersebut oleh Amerika Serikat (AS) dalam berbagai operasi militernya, meskipun dianggap (terutama oleh pemerintah AS) sebagai strategi yang cukup efektif dan efisien dalam medan perang, menghadirkan kontroversi dan kritik dari banyak pihak.

Mengenai hal tersebut, menarik untuk disimak statemen Ben Emmerson- investigator PBB tentang terorisme dan HAM- dalam laporan resminya setelah investigasi yang dilakukan di Pakistan selama tiga hari mengenai efek drone pada pihak sipil selama operasi militer AS melawan terorisme.

Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (Maret 2013) tersebut, ia mengatakan bahwa penggunaan pesawat tanpa awak oleh militer AS dilakukan tanpa ijin dari pemerintah Pakistan dan menyimpulkan dengan tegas bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan dan integritas wilayah Pakistan. Selain melanggar hukum, praktek penggunaan tersebut juga menimbulkan trauma dan kerugian yang cukup parah pada warga masyarakat di wilayah tribal Pakistan.

Pasca serangan 11 September, penggunaan pesawat tanpa awak meningkat secara masif terutama di wilayah operasi militer AS. Selama ini, drone memang menjadi salah satu faktor terpenting dalam kesuksesan perang AS melawan terorisme. Di beberapa negara seperti Pakistan, Afganistan, Yaman, dan Irak, pesawat tanpa awak tersebut menjadi garda depan serangan dalam menghadapi para kombatan.Namun di sisi lain, banyaknya baik korban maupun kerugian di pihak sipil serta pertanyaan tentang legitimasi hukum internasional penggunaan pesawat tersebut di wilayah kedaulatan negara lain menimbulkan kontroversi tersendiri.

Fokus perdebatan mengenai drone paling tidak dapat diletakkan dalam dua kutub argumen: strategis dan humanitarian. Aspek strategis melihat sisi positif dari penggunaan senjata tersebut. Tak dapat disangkal peran drone dalam meningkatkan daya gentar serta fungsi efektif dalam infiltrasi, pengintaian, maupun penyergapan dalam sebuah operasi militer. Dalam asymmetric warfare menghadapi musuh yang menyebar dan berada diluar jangkauan pasukan konvensional, penggunaan drone dianggap sangat efektif dalam menghancurkan target di pihak lawan. Selain itu, relatif murahnya biaya pengoperasian serta kemampuan meminimalisir korban prajurit dianggap sebagai faktor pendorong penting penggunaan senjata tersebut. Hal inilah yang menjadikan drone menjadi tren dalam persenjataan militer terkini.

Segi etika dan moral menjadi pertanyaan dari aspek humanitarian. Alih-alih menyerang sasaran, dalam prakteknya penggunaan drone sering menyasar target yang salah. Tidak sedikit warga sipil termasuk wanita dan anak-anak maupun bangunan umum seperti tempat ibadah yang menjadi korban salah sasaran. Tindakan membunuh seseorang tanpa melalui prosedur peradilan yang jelas juga menjadi pokok perhatian dari aspek ini. Anggapan bahwa drone masih terus berkembang dan di masa depan senjata tersebut akan jauh lebih presisi dalam melumpuhkan lawan dianggap bukan jawaban yang memuaskan. Pertanyaan lain yang mengemuka adalah tentang siapa yang harus dituntut ketika suatu negara akan membawa masalah ini ke mahkamah internasional.

Di bawah pemerintahan Presiden Obama, yang mendapatkan hadiah nobel perdamaian pada 2009, bukanlah jaminan bagi AS untuk mengurangi penggunaan drone dalam medan perang. Penggunaan senjata tersebut, seperti di Pakistan, malah meningkat melebihi penggunaan pada era sebelumnya. Tuntutan pengurangan pasukan serta pengetatan anggaran militer membuat penggunaan drone sebagai cara pragmatis namun tetap efisien dan mematikan dalam menumpas terorisme.

Namun yang ironis, wacana penggunaan pesawat tersebut di dalam negeri AS malah mendapatkan tentangan dari berbagai pihak karena permasalahan moral. Hal ini selain menunjukkan bias kebijakan juga menimbulkan pertanyaan tentang standar ganda AS tentang prinsip moral.

Di masa depan, penggunaan drone dan berbagai jenis senjata ‘robot’ lain tampaknya akan semakin meningkat. Saat ini, ketiadaam rezim internasional yang menjadi payung legitimasi dan pengawasan terhadap penggunaan senjata tersebut dianggap sebagai salah satu faktor utama terjadinya ekses dalam penggunaannya di lapangan. Meningkatnya perimbangan penguasaan teknologi tersebut oleh negara lain seperti China membuka harapan terwujudnya rezim ini akan mungkin terealisasi. Dalam waktu dekat, tuntutan transparansi serta kejelasan proses dalam penentuan tersangka terorisme paling tidak akan memberi kepastian dan peningkatan pengawasan publik dalam mengawasi penggunaan senjata ini.

Berbagai ekses penggunaan terhadap warga sipil dan pelanggaran kedaulatan negara lain oleh drone militer AS memang menjadi fokus perhatian pada saat ini. Namun harapan agar masalah ini dapat dibawa ke ranah hukum seperti ke mahkamah internasional, tampaknya masih jauh dari harapan. Namun statemen keras yang dikeluarkan Emmerson sebagai salah satu ofisial PBB cukup untuk menjaga harapan isu ini akan dibawa ke forum yang lebih tinggi seperti di Majelis Umum PBB. Perimbangan wacana kritis terhadap isu ini, baik oleh kalangan jurnalis maupun akademis, juga diharapkan dapat meningkatkan tekanan pada pemerintah AS untuk memberi perhatian pada aspek moral penggunaan senjata ini.

Noor Afif Fauzi
gambar diambil dari sini.