Cahaya
Ada sebuah titik koordinat kesadaran dimana setiap dari kita bisa menemukan makna terdalam kebenaran didalamnya. Titik yang menjadi tempat persinggungan dan ruang yang melingkupi segenap perbedaan paradigma ideologis dan kepercayaan. Disana, kita akan terhubung dan bahkan menyatu dengan segenap manusia, makhluk, semesta, dan segala ciptaan-Nya.
Untuk mencapainya, kita tak harus bersusah payah melalui berbagai kerangka konseptual dan roadmap nilai, norma, ideologi, paradigma, hukum, atau bahkan fatwa tertentu. Titik itu ada di dalam tiap-tiap diri manusia. Namun kadang keengganan untuk cukup berendah hati membuat kita tak peka untuk menyadari keberadaannya.
Dalam berbagai kesempatan, dengan berbagai macam cara dan tingkat pengalaman kita masing-masing, Tuhan selalu mengingatkan bahkan sedikit memaksa agar kita mau memalingkan dan menghentikan sejenak rutinitas, baik kegiatan, pikiran, maupun perasaan, agar bisa mengenali keberadaan titik tersebut.
Kita juga telah diberikan semacam manual, cara sederhana agar lebih mudah sampai padanya. Namun, sifat keras hati dan keputus-asaan seakan telah menggumpalkan kepertidakcayaan terhadapnya. Kadang juga keraguan itu muncul karena kita cenderung memaksakan petunjuk dalam manual tersebut sekedar sebagai rutinitas tanpa substansi.
Berhenti sejenak, pejamkan mata, lihat ke dalam, dan rasakan- kita akan mendapati titik itu (masih) tekun dan sabar mengetuk pintu hati dan kesadaran kita. Sekian lama, hanya untuk menunjukkan bahwa tuhan sama sekali tidak meninggalkan kita.
Sapalah dia, bercengkerama, bertanya, dan berdialektikalah. Kelak saat jawaban telah engkau dapatkan, titik itu akan segera bergetar. Menjelma menjadi episentrum yang memancarkan cahaya, juga memuaikanmu menjadi cahaya. Bersamanya engkau akan diajak melaju melintasi seluruh penjuru semesta, yang bahkan gelap terpekatpun akan meluruh tak mampu menghalangi laju perjalananmu.
Dan saat engkau benar-benar telah menjadi sebuah cahaya, engkau akan sadar bahkan kekecewaan terbesarpun tak ada yang menjadi sia-sia. (afz)
Divinity
There is one coordinate point of consciousness, a little place where people can find the deepest meaning of truth. That dot will connect all people around the world. Indeed, the universe and all of creatures also will be united with him whom could reach that place.
Gaining there doesn't need any kind of hard effort. We don't need to go through any mind blowing conceptual scheme or the road map of values, norms, ideologies, paradigms, laws, and even the cleric's fatwa. That place lies inside of each people. But sometimes we can't realize it's presence inside because we reluctant to be modest enough toward the other.
In any kind of opportunity, with so many ways of our own experience level, God intervenes by accosting our mind and feeling. By His holy book, He gives something like a manual, simple little prayer, which are the simplest and easiest way arriving there.
But the stubborn and desperate feeling has crumpled the incredulity of it. Sometimes that hesitancy also spread because we impose that manual into ritual without any substances.
Now, if you want gaining on there, just stop for a while. Close your eyes, look inside, and feel. You would find it (still) diligently and patiently knocking our deepest heart and conscious mind.
In that moment, use the chance to talk, ask, and discuss with anything you find there. Someday when you've found the answer, that point would suddenly vibrating itself. Transforming as an light epicenter which will spray bright light, transform your own self to be light. That light wouldn't stoppable by any leaden dark. So you can enjoy your journey through the corner of universe!! (afz)
Sebelas Testamen Doa
: untukmu yang ada di negeri senja...
1
kebaikan kadang datang dari berita
yang membuat kita tak yakin dan bertanya:
"tuhan, masihkah engkau disana?"
2
tentu saja tuhan tak pernah meninggalkan kita
ia selalu membisikkan ayat,
meski dengan caranya yang berbeda
3
seperti lewat takdir
dimana setiap kehilangan,
akan digantikan oleh sesuatu yang terlahir
4
setidaknya agar kita mau berpikir,
berusaha dan tak berhenti merapal doa
yang pernah diajarkan pada kita:
5
dari ksatria berzirah:
"tetap berpegang dan percaya,
kematian tak selalu mengakhiri kisah menjadi sia-sia.."
6
dari rombongan sunyi peziarah:
"dengarlah suara kecil itu,
ia akan menjadikan langkah tak mudah menyerah dan percuma.."
7
dari para musafir:
"kebaikan akan merekah seperti kilau cahaya safir,
menjelma sisi lain yang turut menyertainya hadir.."
8
dari filsuf dan pemikir:
"merenung dan bertanyalah,
tanpanya pencairan tak pernah berguna dan berakhir.."
9
dari para ahli tafsir:
"merendah dan memintalah,
tak ada permintaan yang tak bisa dipenuhinya.."
10
dan kelak,
doa-doa itu akan mengantarkan kita
ke pertemuan di sana
11
dan meski kita masih ragu karena doa kita seolah diabaikannya,
jawabannya selalu sama:
tuhan hanya ingin yang terbaik untuk tiap-tiap dari umatnya..
(fauzi afif, jogja-juni 2012)
Postkolonialisme: Sebuah Pengenalan Teoritik
Sebagai sebuah praktek, kolonialisme telah berakhir dan menjadi salah satu aktor yang paling bertanggung jawab kelahiran negara-negara apa yang selama ini dikenal sebagai negara dunia ketiga. Namun, kemerdekaan politik tanah jajahan tidak selamanya dibarengi dengan kemerdekaan di ranah lain. Kolonialisme sebagai sebuah gagasan masih terus bertahan, dengan derajat berbeda di beberapa wilayah jajahan, dan mewujud sebagai wacana poskolonial. Tulisan ini akan mencoba memberikan pengantar singkat terhadap konsepsi teoritik tersebut.
Poskolonialisme memeberikan gambaran persoalan-persoalan yang belum selesai di negeri yang pernah dijajah. Kajian ini mulai mendapatkan perhatian serius setelah Edward W. Said menerbitkan gagasannya melalui buku Orientalisme pada tahun 1978. Topik-topik yang dikaji dalam kajian ini selain orientalisme adalah mengenai kelompok subaltern, ras, imperialisme, dan lain-lain yang secara praksis juga menumbuhkan spirit humanisme dalam perjuangan dan pembelaan terhadap (mantan) bangsa-bangsa terjajah serta kaum-kaum terpinggirkan.
Untuk memahami poskolonial, terlebih dahulu kita pahami konsep kolonialisme. Dalam Oxford English Dictionary (OED), kolonialisme berasal dari bahasa Latin Colonia yang berarti pertanian atau pemukiman. Konsepsi ini kemudian diartikan sebagai penaklukan tanah penduduk asli oleh penduduk pendatang. Dalam penaklukan ini, terjadi relasi berupa praktek-praktek dominasi dan pemposisian identitas penduduk jajahan sebagai objek baik dalam kesadaran maupun gagasan. Hal inilah yang menjadikan penduduk jajahan selalu menempati posisi subordinat dalam sebuah relasi oposisi biner penjajah (barat) dan terjajah (timur). Subordinasi ini sendiri terjadi hanya dalam aspek politik, ekonomi, dan militer, melainkan juga gagasan, wacana, dan ideologi.
Kekuasaan politik kolonial menjadikan jejak-jejak kolonialisme menjelma sebagai warisan yang harus ditanggung oleh negeri yang dijajah setelah negeri itu merdeka dan menjadi negara sendiri, seperti ditulis Loomba: Negara bangsa yang baru merdeka hanya membagikan buah secara selektif dan timpang kepada rakyat.Digulingkannya pemerintahan kolonial tidak secara otomatis membawa perubahan kea rah perbaikan status perempuan, kelas pekerja, atau petani di kebanyakan daerah jajahan.
Poskolonialisme merupakan kajian yang merujuk pada semacam penegasan terhadap simptom (gejala-gejala) kekuasaan dalam ruang epistemologi dan pedagogi yang berwajah kolonial. Bentuk kekuasaan ini tampak dalam kondisi hegemoni dan dominasi suatu identitas baik itu ras maupun peradaban yang menghasilkan dikotomi dan dikte citra diri terhadap yang lain (other). Dalam hubungan kekuasaan kolonial tentang pengetahuan dan peradaban pihak lain, Loomba mengatakan bahwa kolonialisme membiaskan produksi dan membangun kondisi-kondisi bagi penyebaran dan penerimaannya. Proses-proses yang dipakainya untuk melakukan hal itu mengakui terjadinya kekuasaan kolonial dan interaksi-interaksi kompleksnya dengan epistemologi, ideologi, dan cara melihat “yang lain”.
Cara melihat “yang lain” dipengaruhi oleh adanya oposisi biner dimana hal ini mengartikan tanda-tanda berdasarkan penanda lainnya seperti laki-laki >< perempuan, hitam >< putih, rasional >< irasional, dan penjajah >< terjajah. Logika penjajah menempatkan posisi penduduk jajahan dalam posisi “yang lain” tersebut sehingga mereka juga memperlakukannya tidak sebagimana adanya (objektif), melainkan bagaimana seharusnya (subjektif). Bagaimana seharusnya penduduk jajahan terlihat dari beban historis negara atau bangsa baru saat penguasaan politik kolonial berakhir, dimana sistem pemerintahan, formasi sosial, bahasa, dan bahkan persepsi pemerintah baru berasal dalam memandang rakyatnya, dilakukan dengan cara pandang penjajah terhadap penduduk jajahan.
Robert J.C. Young mencoba memberikan pemahaman baru terhadap konsep kolonialisme tidak hanya sebagai penguasaan barat terhadap timur, melainkan bersifat lintas ruang dan waktu.
Kondisi-kondisi jejak etnik dan cultural pre-given kolonialisme inilah yang berpengaruh besar dalam membentuk identitas negara baru tersebut ketika negara tersebut merdeka (identitas poskolonial). Dampak psikologis, ekonomis, dan politis yang menjadi warisan kolonial ini sendiri berbeda dan memiliki kekhasan masing-masing di setiap negara bekas jajahan. Hal ini dipengaruhi oleh strategi kolonial yang dijalankan serta relasi yang terbentuk antara kedua negara.
Gayatri Sivak dalam essainya “Can Subaltern Speak” berhasil membongkar dan menemukan warisan kolonial ini dalam kaum perempuan di India. Dalam pembacaannya, kaum perempuan India tidak hanya ditampilkan sebagai kaum terpinggirkan paska era kolonialisme, tapi juga mengenai kegagalan nasionalisme elit dalam mentransformasikan dan memperbaiki kondisi sosial-ekonomi kaum perempuan subaltern, petani, dan komunitas kesukuan. Spivak berhasil membongkar sejarah dengan jelas dengan membedakan antara sejarah dan perjuangan nasionalis elit dengan kaum subaltern.
Doa
Madzhab Kasihan: Meretas Jalan Ilmu Sosial Profetik
Tidak sengaja menemukan file tulisan beberapa tahun silam, saat masih menjadi Kabid Iptek IMM Komisariat Fisipol UMY. Semoga masih relevan...
Kelahiran positifisme yang dibidani oleh Auguste Comte pada abad 19 di Perancis telah menjadi awal revolusi intelektual dunia. Dengan lima “rukun iman” nya, yakni logika, empirisme, realitas, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai, ilmu sosial mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hal ini pula yang menjadikan kemajuan pesat peradaban masyarakat Eropa.
Namun paradoks dengan kemajuan intelektual tersebut, positifisme yang memiliki spirit awal sebagai agama humanisme malah gagal menempatkan sisi kemanusiaan sebagai prioritas utama karena menjadikannya sekedar fakta, data, dan angka. Hal ini terlihat dari berbagai krisis yang terjadi baik itu krisis ekonomi, sosial, dan moral.
Ketiadaan metafisika merupakan salah satu faktor utama ekses positifisme ini. Comte sendiri hanya menempatkannya sebagai tahap kedua perkembangan pengetahuan sebelum tahapan positifis dan menganggapnya sebagai pseoudo-proposition yang tidak mempunyai makna. Etika dan moral tidak memiliki tempat dalam pengetahuan ilmiah. Nilai menjadi sesuatu yang tak perlu dijamah karena itu hanyalah masalah subjektif dan merupakan domain teolog dan filsuf semata.
Reduksi pengetahuan dunia yang dilakukan oleh positifisme tentu saja melahirkan banyak kritikan terhadapnya seperti Nietszche dengan eksistensialismenya dan pemikir-pemikir post-modern serta post-positivis. Namun tawaran-tawaran pemahaman baru ini hingga saat ini hanya berperan sebagai kritik ketimbang sebagai pilihan baru. Kritik terhadapnya pun cukup kuat terkait dengan kerelatifan nilai dan penghilangan aspek-aspek transendental. Paradigma Islam merupakan jawaban terhadap ekses-ekses ini. Risalah yang lahir 14 abad yang lalu merupakan jawaban dari segala patologi dan pencarian manusia akan hakikat kebenaran pengetahuan.
Islam, bahkan oleh sebagaian besar umatnya sendiri, sering dianggap dan dibatasi sebagai sebuah agama sakral yang hanya mengurusi persoalan akhlaq dan moral serta implikasi nya berupa surga dan neraka. Pemahaman Al Qur’an hanya sebatas pada teks nya semata dan mematikan tafsir serta ta’wil yang berusaha mengangkatnya dari bias sejarah. Tentu saja hal ini mengingkari hakikat kitab suci ini sendiri, semata-mata mensakralkannya dan menjadikannya warisan sejarah. Membuka pintu ijtihad seluas-luasnya merupakan satu-satunya solusi terhadap hal ini, dan caranya adalah dengan ilmu sosial profetik.
Cita-cita profetik ini seperti terkandung dalam surat Ali Imron ayat 110: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah. Menurut kuntowijoyo, ayat ini memiliki tiga muatan yang menjadi karakteristik keilmuan Islam yakni humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minuna billah) untuk rekayasa masyarakat sosio-etik di masa depan. Untuk mewujudkan cita-cita ini, agar tidak hanya menjadi sebuah visi normatif, dibutuhkan sebuah pendekatan analitik dengan menjadikan ayat-ayat Al Qur’an sebagai postulat baik teologis maupun teoritis. Dan wahyu harus ditempatkan dalam epistemologi keilmuan.
Hal inilah yang luput dari epistemologi keilmuan barat sehingga yang terjadi adalah dialektika yang tidak mungkin menemukan sintesis pengetahuan. Proses yang tidak kunjung berhenti dan berkutat pada permasalahan tesis-sintesis yang kadang mengesampingkan kemanusiaan selama pencarian ini. Tak jarang pula manusia terjebak dalam belenggu relatifisme, sistemik, atau determinisme yang menjadikan manusia seolah lepas dari hakikat kemanusiaannya. Liberasi harus dilakukan dari belenggu-belenggu ini untuk mengembalikan nilai-nilai humanisme dengan tetap berpegangan pada tali transendental.
Satu abad yang lalu, aksiologi misi profetik ini telah dilaksanakan oleh Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta sebagai sebuah gerakan pembebasan yang diharapkan mampu menerjemahkan visi normatif profetik ini. UMY yang juga lahir di rahim perjuangan yang sama nampaknya masih terlena dengan keilmuan positifistik barat. Jarang sekali tesis-tesis prophetik dilahirkan dari akademisi UMY. Ilmuisasi Islam harus menjadi agenda utama, tak hanya untuk memberikan identitas bagi universitas ini sebagai lembaga Muhammadiyah namun juga untuk mengembalikan hakikat kemanusiaan ke tempat yang sepantasnya. Sekolah Prophetik yang dilaksanakan oleh IMM Komisariat Fisipol UMY diharapkan menjadi pelopor menjadikan Mahzab Kasihan sebagai salah satu alternatif solusi menjadikan Islam sebagai jawaban atas permasalahan kemanusiaan. (afz)
Kelahiran positifisme yang dibidani oleh Auguste Comte pada abad 19 di Perancis telah menjadi awal revolusi intelektual dunia. Dengan lima “rukun iman” nya, yakni logika, empirisme, realitas, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai, ilmu sosial mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hal ini pula yang menjadikan kemajuan pesat peradaban masyarakat Eropa.
Namun paradoks dengan kemajuan intelektual tersebut, positifisme yang memiliki spirit awal sebagai agama humanisme malah gagal menempatkan sisi kemanusiaan sebagai prioritas utama karena menjadikannya sekedar fakta, data, dan angka. Hal ini terlihat dari berbagai krisis yang terjadi baik itu krisis ekonomi, sosial, dan moral.
Ketiadaan metafisika merupakan salah satu faktor utama ekses positifisme ini. Comte sendiri hanya menempatkannya sebagai tahap kedua perkembangan pengetahuan sebelum tahapan positifis dan menganggapnya sebagai pseoudo-proposition yang tidak mempunyai makna. Etika dan moral tidak memiliki tempat dalam pengetahuan ilmiah. Nilai menjadi sesuatu yang tak perlu dijamah karena itu hanyalah masalah subjektif dan merupakan domain teolog dan filsuf semata.
Reduksi pengetahuan dunia yang dilakukan oleh positifisme tentu saja melahirkan banyak kritikan terhadapnya seperti Nietszche dengan eksistensialismenya dan pemikir-pemikir post-modern serta post-positivis. Namun tawaran-tawaran pemahaman baru ini hingga saat ini hanya berperan sebagai kritik ketimbang sebagai pilihan baru. Kritik terhadapnya pun cukup kuat terkait dengan kerelatifan nilai dan penghilangan aspek-aspek transendental. Paradigma Islam merupakan jawaban terhadap ekses-ekses ini. Risalah yang lahir 14 abad yang lalu merupakan jawaban dari segala patologi dan pencarian manusia akan hakikat kebenaran pengetahuan.
Islam, bahkan oleh sebagaian besar umatnya sendiri, sering dianggap dan dibatasi sebagai sebuah agama sakral yang hanya mengurusi persoalan akhlaq dan moral serta implikasi nya berupa surga dan neraka. Pemahaman Al Qur’an hanya sebatas pada teks nya semata dan mematikan tafsir serta ta’wil yang berusaha mengangkatnya dari bias sejarah. Tentu saja hal ini mengingkari hakikat kitab suci ini sendiri, semata-mata mensakralkannya dan menjadikannya warisan sejarah. Membuka pintu ijtihad seluas-luasnya merupakan satu-satunya solusi terhadap hal ini, dan caranya adalah dengan ilmu sosial profetik.
Cita-cita profetik ini seperti terkandung dalam surat Ali Imron ayat 110: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah. Menurut kuntowijoyo, ayat ini memiliki tiga muatan yang menjadi karakteristik keilmuan Islam yakni humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minuna billah) untuk rekayasa masyarakat sosio-etik di masa depan. Untuk mewujudkan cita-cita ini, agar tidak hanya menjadi sebuah visi normatif, dibutuhkan sebuah pendekatan analitik dengan menjadikan ayat-ayat Al Qur’an sebagai postulat baik teologis maupun teoritis. Dan wahyu harus ditempatkan dalam epistemologi keilmuan.
Hal inilah yang luput dari epistemologi keilmuan barat sehingga yang terjadi adalah dialektika yang tidak mungkin menemukan sintesis pengetahuan. Proses yang tidak kunjung berhenti dan berkutat pada permasalahan tesis-sintesis yang kadang mengesampingkan kemanusiaan selama pencarian ini. Tak jarang pula manusia terjebak dalam belenggu relatifisme, sistemik, atau determinisme yang menjadikan manusia seolah lepas dari hakikat kemanusiaannya. Liberasi harus dilakukan dari belenggu-belenggu ini untuk mengembalikan nilai-nilai humanisme dengan tetap berpegangan pada tali transendental.
Satu abad yang lalu, aksiologi misi profetik ini telah dilaksanakan oleh Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta sebagai sebuah gerakan pembebasan yang diharapkan mampu menerjemahkan visi normatif profetik ini. UMY yang juga lahir di rahim perjuangan yang sama nampaknya masih terlena dengan keilmuan positifistik barat. Jarang sekali tesis-tesis prophetik dilahirkan dari akademisi UMY. Ilmuisasi Islam harus menjadi agenda utama, tak hanya untuk memberikan identitas bagi universitas ini sebagai lembaga Muhammadiyah namun juga untuk mengembalikan hakikat kemanusiaan ke tempat yang sepantasnya. Sekolah Prophetik yang dilaksanakan oleh IMM Komisariat Fisipol UMY diharapkan menjadi pelopor menjadikan Mahzab Kasihan sebagai salah satu alternatif solusi menjadikan Islam sebagai jawaban atas permasalahan kemanusiaan. (afz)
Kereta Senja
Mendaras Aras Epistemologi Ikatan: Sebuah Rintisan Filosofis
Tidak sengaja menemukan file tulisan beberapa tahun silam, saat masih menjadi Kabid Iptek IMM Komisariat Fisipol UMY. Semoga masih relevan...
Sejak didirikan 48 tahun silam, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah telah mewarnai langgam dan dinamika dunia pergerakan mahasiswa di Indonesia. Sebagai salah satu organisasi pergerakan mahasiswa terbesar di Indonesia, yang juga merupakan organisasi otonom dari Muhammadiyah, IMM sering dikeluhkan lamban dan tidak berdikari dalam organisasi.
Keberadaan organisasi ordinat diatasnya, kemudahan dan kemanjaan fasilitas oleh amal usaha, serta melimpahnya kuantitas kader sering menjadi kambing hitam dari dua fenomena tersebut. Mewabahnya epidemik pragmatisme yang melanda sebagian besar organisasi pergerakan berikut kader-kadernya di era reformasi dan demokratisasi saat ini, juga berpengaruh. Jika ini dibiarkan, tentu saja peran sentral organisasi pergerakan sebagai gerakan moral-intelektual penyangga idealisme akan semakin pudar. Jika berbagai faktor diatas diskemakan lebih lanjut, faktor eksternal berupa derasnya laju globalisasi yang menuntut kecepatan dan pragmatisme, bisa diselesaikan dengan memikirkan dan merenungi kembali epistemologi yang selama telah tertanam.
Meskipun epistemologi merupakan permasalahan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, persoalan ini sangat jarang untuk dikaji dan hanya dianggap sebagai lahan garapan filsafat yang teoritis, mengawang, dan tidak bersentuhan dengan persoalan. Padahal di era globalisasi yang ditandai dengan kecepatan dan keterbukaan di berbagai bidang, keberadaan sebuah pedoman sangat penting sebagai peta dan titian jalan agar tidak terjebak dalam rutinitas dan dilimbungkan keadaan. Doktrin dari isme-isme yang dulu menjadi tameng pelindung perlahan mulai runtuh oleh kapitalisme dan neoliberalisme yang (dianggap) lebih rasional sebagai kuda pacuan mengejar kecepatan zaman.
Keberadaan jarak antara ide dan realita inilah yang menjadi persoalan utama pergerakan mahasiswa saat ini. Wacana yang kuat sering hanya berhenti pada tataran normative dan tidak bisa ditransformasikan dalam ranah praxis dan preskriptif. Dalam tataran yang lebih luas, organisasi dengan cap pergerakan perlahan mulai tersingkir oleh keberadaan gerakan maupun komuinitas sosial baru yang lebih diterima oleh masyarakat. Gerakan-gerakan mapan mulai tersingkir dengan keberadaan revolusi semut oleh gerakan alternatif dan komunitas-komunitas independen. Keberhasilan eksistensi mereka karena memilih untuk hidup menghadapi realitas dalam kompleksitas globalisasi ketimbang terjebak dalam wacana semata.
Meskipun keterasingan ini memiliki implikasi positif pula, antara lain orisinilitas ide dan eksklusifitas perkaderan yang terjaga, namun ketidakmampuan membaca globalisasi tentu saja akan berekses pada ketidakmampuan beradaptasi dengan perkembangan. Ini merupakan permasalahan serius, karena akan berimplikasi pada kegagalan mengekspresikan idealitas. Baca, diskusi, dan aksi selama ini menjadi doktrin dalam perkaderan, jika tidak dilanjuti dengan bentuk ekspresi yang lain, akan menempatkan idealisme dalam tempurung yang hebat hanya dalam komunitasnya. Tidak ada pilihan lain bagi organisasi pergerakan kecuali reborn atau lahir kembali, bukan dalam bentuk fisik melainkan cara pandang dan pemikiran untuk membentuk habitus yang tepat.
Permasalahan ini juga dihadapi oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai underbow baik mengenai ideologi maupun organisasi dari Muhammadiyah. Kemapanan pemahaman teologis Muhammadiyah terkadang menjadi blunder yang menjebak IMM dalam symbol dan citra kemapanan. Azyumardi Azra pernah mengkritik pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang cenderung monolistik (salafiyah) ini. Padahal kecenderungan keagamaan masyarakat semakin pluralistik. Menurut Azra, selama ini Ulama Muhammadiyah hanya dialokasikan di tempat periferal dan marginal, yaitu di Majelis Tarjih, yang hanya menekuni dan menjawab persoalan-persoalan teknis hukum Islam (fiqhiyyah) untuk merespons perkembangan modern. Kalaupun ada di kalangan Muhammadiyah yang kritis terhadap pemerintah, itu biasanya muncul dari kalangan santri intelektual. Jarang sekali yang dikenal sebagai Ulama melakukan fungsi kontrol.
Krisis ini berimbas pada IMM baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, paham kemanjaan ini berkembang menjadi penyempitan ranah perjuangan sebagai kader persyarikatan, melupakan ranah lain yang jauh lebih penting yakni kebangsaan dan umah. Kader yang seakan sudah merasa nyaman berada dalam tubuh organisasi Muhammadiyah baik di ortom maupun majelis, dan menganggap kiprah pengabdian mereka sudah selesai. Memikirkan kembali basis epistemologi yang tepat sangat penting untuk menemukan paradigma baru ikatan agar idealisme tidak tercerabut dari akar, sekaligus bisa memenuhi tuntutan zaman. (afz)
Sejak didirikan 48 tahun silam, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah telah mewarnai langgam dan dinamika dunia pergerakan mahasiswa di Indonesia. Sebagai salah satu organisasi pergerakan mahasiswa terbesar di Indonesia, yang juga merupakan organisasi otonom dari Muhammadiyah, IMM sering dikeluhkan lamban dan tidak berdikari dalam organisasi.
Keberadaan organisasi ordinat diatasnya, kemudahan dan kemanjaan fasilitas oleh amal usaha, serta melimpahnya kuantitas kader sering menjadi kambing hitam dari dua fenomena tersebut. Mewabahnya epidemik pragmatisme yang melanda sebagian besar organisasi pergerakan berikut kader-kadernya di era reformasi dan demokratisasi saat ini, juga berpengaruh. Jika ini dibiarkan, tentu saja peran sentral organisasi pergerakan sebagai gerakan moral-intelektual penyangga idealisme akan semakin pudar. Jika berbagai faktor diatas diskemakan lebih lanjut, faktor eksternal berupa derasnya laju globalisasi yang menuntut kecepatan dan pragmatisme, bisa diselesaikan dengan memikirkan dan merenungi kembali epistemologi yang selama telah tertanam.
Meskipun epistemologi merupakan permasalahan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, persoalan ini sangat jarang untuk dikaji dan hanya dianggap sebagai lahan garapan filsafat yang teoritis, mengawang, dan tidak bersentuhan dengan persoalan. Padahal di era globalisasi yang ditandai dengan kecepatan dan keterbukaan di berbagai bidang, keberadaan sebuah pedoman sangat penting sebagai peta dan titian jalan agar tidak terjebak dalam rutinitas dan dilimbungkan keadaan. Doktrin dari isme-isme yang dulu menjadi tameng pelindung perlahan mulai runtuh oleh kapitalisme dan neoliberalisme yang (dianggap) lebih rasional sebagai kuda pacuan mengejar kecepatan zaman.
Keberadaan jarak antara ide dan realita inilah yang menjadi persoalan utama pergerakan mahasiswa saat ini. Wacana yang kuat sering hanya berhenti pada tataran normative dan tidak bisa ditransformasikan dalam ranah praxis dan preskriptif. Dalam tataran yang lebih luas, organisasi dengan cap pergerakan perlahan mulai tersingkir oleh keberadaan gerakan maupun komuinitas sosial baru yang lebih diterima oleh masyarakat. Gerakan-gerakan mapan mulai tersingkir dengan keberadaan revolusi semut oleh gerakan alternatif dan komunitas-komunitas independen. Keberhasilan eksistensi mereka karena memilih untuk hidup menghadapi realitas dalam kompleksitas globalisasi ketimbang terjebak dalam wacana semata.
Meskipun keterasingan ini memiliki implikasi positif pula, antara lain orisinilitas ide dan eksklusifitas perkaderan yang terjaga, namun ketidakmampuan membaca globalisasi tentu saja akan berekses pada ketidakmampuan beradaptasi dengan perkembangan. Ini merupakan permasalahan serius, karena akan berimplikasi pada kegagalan mengekspresikan idealitas. Baca, diskusi, dan aksi selama ini menjadi doktrin dalam perkaderan, jika tidak dilanjuti dengan bentuk ekspresi yang lain, akan menempatkan idealisme dalam tempurung yang hebat hanya dalam komunitasnya. Tidak ada pilihan lain bagi organisasi pergerakan kecuali reborn atau lahir kembali, bukan dalam bentuk fisik melainkan cara pandang dan pemikiran untuk membentuk habitus yang tepat.
Permasalahan ini juga dihadapi oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai underbow baik mengenai ideologi maupun organisasi dari Muhammadiyah. Kemapanan pemahaman teologis Muhammadiyah terkadang menjadi blunder yang menjebak IMM dalam symbol dan citra kemapanan. Azyumardi Azra pernah mengkritik pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang cenderung monolistik (salafiyah) ini. Padahal kecenderungan keagamaan masyarakat semakin pluralistik. Menurut Azra, selama ini Ulama Muhammadiyah hanya dialokasikan di tempat periferal dan marginal, yaitu di Majelis Tarjih, yang hanya menekuni dan menjawab persoalan-persoalan teknis hukum Islam (fiqhiyyah) untuk merespons perkembangan modern. Kalaupun ada di kalangan Muhammadiyah yang kritis terhadap pemerintah, itu biasanya muncul dari kalangan santri intelektual. Jarang sekali yang dikenal sebagai Ulama melakukan fungsi kontrol.
Krisis ini berimbas pada IMM baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, paham kemanjaan ini berkembang menjadi penyempitan ranah perjuangan sebagai kader persyarikatan, melupakan ranah lain yang jauh lebih penting yakni kebangsaan dan umah. Kader yang seakan sudah merasa nyaman berada dalam tubuh organisasi Muhammadiyah baik di ortom maupun majelis, dan menganggap kiprah pengabdian mereka sudah selesai. Memikirkan kembali basis epistemologi yang tepat sangat penting untuk menemukan paradigma baru ikatan agar idealisme tidak tercerabut dari akar, sekaligus bisa memenuhi tuntutan zaman. (afz)
Sebuah Dingin di Ujung Malam
dingin di ujung malam
apa yang kau cari di balik awan?
bukankah bulan tak menggenggam sinarnya lagi?
atau barangkali matahari?
sudahlah
hari-hari pun harus marajuk
untuk nya hadir esok pagi
tapi mungkin sepi
atau angin yang masih berbaik hati
yang kan mengusir dingin itu
membawa cahaya remang itu
datang kembali
dan mengajakmu kembali berlari
sekali lagi..
(fauzi afif, jogja-2011)
Sebuah Nama: Indonesia
Mengindonesia adalah mitos tentang sebuah nama
prosesi menjadi kita
sebuah nama,
yang tak pernah kita peduli dari siapa
yang sering kita lupa untuk apa
Mengindonesia adalah ritual melawan lupa
pekerjaan menyembuhkan luka
Sebuah cerita,
melacak setapak sejarah
meretas jalan sebuah kisah
Menjadi Indonesia adalah bertanya
apakah kita pantas menjadi bangsa?
apakah kita layak merdeka?
Indonesia adalah sebuah doa
semoga kita tak lupa
kita pernah melangkah bersama
sebagai manusia
tanpa peduli nama
(fauzi afif, Jogja-160811)
Diskursus dan Demokrasi Indonesia
Perkembangan keilmuan dan intelektual manusia membawa ke ranah dimana pemahaman filsafat politik klasik dalam sebuah spektrum berupa garis datar right-left dianggap tidak relevan lagi. Hal ini terutama dikarenakan dialektika materi dan ide dalam debat ontologi tidak kunjung menemukan sintesis nya dan bahkan kemunculan varian-varian baru cara mengada manusia membuat sebuah paradigma tidak bisa lagi memaksakan mono validitas kebenaran menjadi miliknya semata. Habermas merupakan salah satu filsuf yang melakukan perlawanan terhadap oposan biner ide-materi ini dengan paradigma komunikasi nya. Pandangan ini menempatkan konstruksi nalar pengetahuan manusia diperoleh dari perbincangan-perbincangan rasional dalam ruang yang bebas dan emansipatoris (ruang publik).
Sebagai salah satu tokoh Mazhab Frankfurt, Habermas mempunyai pijakan kuat pada tradisi-tradisi marxis terutama pada kritik sosialnya meskipun memiliki perbedaan besar dalam postulat-postulat epistimologisnya. Dia berusaha menyelamatkan ajaran marx dari memori serta bias sejarah dan dogma ideologi ke dalam konteks waktu serta realita kekinian. Hal ini dilakukan dengan melawan skeptisme marx terhadap materi dengan mengembalikan agensi rasio manusia. Namun berbeda dengan pemikiran idealis klasik, agensi rasio ini harus diikutsertakan dalam sebuah praktek komunikasi yang mengganti paradigma kerja menjadi paradigma komunikasi. Hal lain yang penting dari revisinya terhadap Marx dan pemikir-pemikir Mazhab Frankfurt lain adalah keharusan dorongan praksis dalam setiap teori.
Salah satu buah pemikirannya yang cukup penting adalah konsep dan teori tentang diskursus. Secara sederhana diskursus merupakan sebuah percakapan atau wacana. Untuk membedakannya dengan perbincangan sehari-hari, diskursus tidak sekedar dialog sederhana seperti ketika kita bertanya kabar teman, bertanya harga, atau dialog sehari-hari lainnya. Dalam diskursus terdapat tematisasi dan pemetaan masalah sehingga diskursus dapat dianggap sebagai sebuah komunikasi reflektif yang mentematisasi sebuah permasalahan tertentu.
Dalam masyarakat Indonesia sebenarnya praktek ini telah melekat dan menjadi kearifan sosial. Hal-hal seperti musyawarah, dialog, dan semacamnya telah menjadi budaya dalam masyarakat kita. Namun hal ini seolah menjadi paradoks dan sesuatu yang ironis ketika dihardapkan dengan era demokrasi pasca reformasi. Era keterbukaan yang seharusnya menjadi pintu gerbang demokrasi malah perlahan membawa Indonesia menuju negara gagal. Hal ini terindikasi dengan karut marutnya praktek demokrasi baik dari tingkat grassroot maupun elit. Dalam makalah singkat ini, dengan menggunakan konsep diskursus Habermas, penulis akan memaparkan prospek aplikatif diskursus yang telah melekat dalam kearifan sosial masyarakat Indonesia untuk dapat memperbaiki kehidupan demokrasi di era reformasi ini.
Ketika komunikasi berlangsung praktek yang terjadi tidak hanya sebuah percakapan atau dialog biasa, latar belakang komunikasi (Lebenswelt [Jerman] atau lifeworld [Inggris]) komunikator menjadi hal penting yang sangat berpengaruh dalam proses ini. Hal ini berpengaruh secara pra reflektif dan bahkan pra sadar sehingga membawa proses komunikasi ke arah yang tendensius. Tendensi ini tidak selalu buruk, dan bahkan memaknai komunikasi yang berjalan. Hal lain yang sangat berperan adalah klaim-klaim kesahihan atau kebenaran. Klaim kesahihan dalam tematisasi komunikasi yang terus berlangsung akan membawa kita menuju sebuah kesadaran akan keberadaan labenswelt dan akhirnya membuat komunikasi menjadi lebih cerdas. Prinsip ini jika berjalan dengan baik tentunya merupakan modal yang sangat berharga dalam sebuah praktek demokrasi. Dalam demokrasi yang sehat, opini publik sebagai sebuah input blackbox sistem harus benar-benar merepresentasikan kehendak rakyat sehingga agregasi politik oleh partai politik juga tentunya akan berjalan dengan lebih baik. Namun fragmentasi praktek komunikasi antara elit dan rakyat membuat demokrasi pun terfragmen antara kedua kelompok ini.
Ketika kita kembali ke realita sosial dan politik Indonesia, wajar jika indikasi-indikasi mengarahkan demokrasi Indonesia menuju kegagalan. Tingkat pendengaran elit politik terbatas pada dinding gedung-gedung megah pemerintahan yang telah dibuat kedap terhadap suara rakyat. Dibutuhkan frekuensi suara yang lebih kuat agar suara bisa didengar dan itu hanya mungkin dilakukan oleh para kartel politik dan pemilik modal. Kaum Marxis akan menggunakan cara radikal untuk meruntuhkan gedung yang bebal itu sebagai satu-satunya opsi menyelesaikan permasalah ini. Namun sebenarnya permasalahan ini masih bisa diperbaiki dengan memperbaiki praktek komunikasi yang berlangsung.
Dalam pembedaan tipologi negara ke dalam tiga tipe birokrasi (kekuasaan), pasar (uang), dan masyarakat (solidaritas), terdapat fragmentasi komunikasi yang begitu nyata antara ketiga komponen tersebut. Birokrasi dan pasar membuat blog tersendiri yang seolah vis a vis dengan masyarakat. Perkembangan kapitalisme membuat masyarakat modern terpagari oleh realita sebenarnya. Kehidupan kultural telah terkooptasi dengan kuatnya sistemitasi ekonomi dan politik. Dalam ekonomi misalnya, masyarakat kini lebih suka berbelanja ke pasar modern yang melupakan aspek sosial seperti proses tawar-menawar. Demokrasi liberal juga telah mematikan komunikasi politik karena hanya yang mempunyai modal yang mempunyai akses komunikasi baik sesama elit maupun untuk menyuarakan rakyat dan bahkan kepentingan pribadinya.
Musyawarah sebagai salah satu identitas kearifan lokal masyarakat Indonesia seolah tidak berarti apa-apa ketika dibawa ke lingkup yang lebih tinggi. Labenswelt hanya efektif dilaksanakan dalam lingkup kecil seperti di tingkatan masyarakat tradisional. Dalam level ini, sistem pasar dan birokrasi ditempatkan sebagai subsistem masyarakat sehingga problemitasi serta tematisasi komunikasi bisa berjalan dengan baik dan kebijakan yang diambil pun bisa diterima oleh semua pihak. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ketika dalam lingkup kecil praktek komunikasi bisa berjalan dengan baik, namun mengapa dalam lingkup yang lebih tinggi hal ini seolah tidak berarti apa-apa? Menurut Habermas, hal utama yang menyebabkan hal ini adalah produk legal formal yang mengkooptasi proses komunikasi antara birokrasi-pasar dengan masyarakat. Sebagai jembatan antara kedua kelompok ini, hukum harus berperan sebagai cermin komunikasi kedua belah pihak.
Dari pemaparan diatas menjadi jelas bahwa ketika produk hukum hanyalah menjadi keputusan sepihak tanpa melibatkan masyarakat, dalam tatanan yang lebih tinggi, hal ini akhirnya akan mengantarkan demokrasi ke titik nadirnya. Kesepakatan tentang produk hukum adalah inti dari tema ini. Hal inilah yang terjadi pada masyarakat-masyarakat tradisional ataupun polis-polis Yunani pada awal pelaksanaan demokrasi klasik. Contoh aplikasi hal ini adalah pembuatan peraturan tentang PKL. Pihak birokrasi dan pasar harus mau duduk bersama dengan masyarakat untuk berkomunikasi dalam perumusan kebijakan tersebut. Pihak pedagang, konsumen, masyarakat sekitar, dan semua pemangku kepentingan harus duduk bersama dilibatkan dalam pengambilan keputusan sehingga pelaksanaan keputusannya pun tidak sepihak. Konsep ini seolah terlalu ideal, karena sebuah prinsip memang harus ideal. Namun hal ini bukan tidak mungkin dilaksanakan.
Dalam paradigma filsafat politik apapun, kekuasaan merupakan salah satu konsep terpenting dalam praktek politik. Sebenarnya, pendefinisan klasik menempatkan politik dalam tiga pemahaman yaitu perjuangan kekuasaan, distribusi, dan masalah nilai. Namun dalam prakteknya, politik hanya dipahami dalam pemahaman yang pertama yaitu masalah kekuasaan. Kesalahan berpikir ini menyebabkan distorsi-distorsi praktek politik lain seperti demokrasi, prinsip perwakilan, dan pengambilan keputusan. Dalam pengambilan keputusan misalnya, etika komunikasi sengaja ditutup dan digantikan dengan represi komunikasi. Ketakutan berkomunikasi dengan labenswelt akhirnya menjadikan keputusan yang diambil tak ubahnya paksaan semata.
Hal ini tentu saja akan berbeda jika praktek komunikasi benar-benar dilaksanakan secara benar. Ketika semua pihak duduk bersama dan menghasilkan keputusan bersama, untuk menjalankan keputusan tersebutpun akan dilaksanakan atau paling tidak mempunyai legitimasi dan keabsahan komunikasi yang kuat. Kemampuan menjalankan hal inilah yang disebut Habermas dengan kekuasaan komunikatif. Seorang penguasa tentunya tidak hanya dituntut untuk bisa berbicara melainkan mendengar dan mau untuk duduk bersama saling berkomunikasi.
Demokrasi deliberatif merupakan tatanan ideal dalam perwujudan praktek komunikasi dalam ranah politik bernegara. Deliberatif yang merupakan sinonim dari pembebasan dan tak boleh hanya menjadi atribut semata, melainkan harus bisa menjamin praktek komunikasi bisa berjalan tanpa represi. Kearifan lokal bermusyawarah yang melekat dalam kultur Indonesia merupakan modal yang sangat berharga dalam menjalankan tipe demokrasi ini. Insfrastruktur komunikasi ini jika bisa dikelola dengan baik dan ditingkatkan kualitasnya dalam bentuk forum-forum komunikasi yang lebih besar maka keseimbangan Negara Hukum-Civil Society sebagai sebuah cita-cita demokrasi deliberatif bukan tidak mungkin terjadi.
Permasalahan yang ada di Indonesia adalah kelembagaan politik mengharuskan dilemahkannya masyarakat sipil demi efektivitas politik. Silence culture yang merupakan identitas politik orde baru dianggap sebagai satu-satunya cara efektif dalam menjamin keberlangsungan pemerintahan. Dalam budaya ini, pemerintah memiliki keharusan peran sebagai diskursif control untuk mematikan suara-suara perlawanan. Pambaharuan kelembagaan harus dilakukan baik secara normatif maupun empiris untuk menjamin praktek komunikasi bisa berjalan dengan efektif. Beberapa hal konkrit masukan antara lain:
Pertama, Penjaminan proses politik yang bebas represi. Proses politik dari hulu hingga akhir harus benar-benar dijaga untuk menutup akses-akses pihak-pihak yang ingin menunggangi kekuasaan (free raider) seperti kartel politik dan ekonomi. Hal ini bisa dilakukan dengan menanggung semua biaya politik partai dan kampanye ditanggung pemerintah disertai dengan pengawasan yang kuat terhadapnya. Meskipun bukanlah kebijakan yang populis, hal ini merupakan langkah yang sangat penting untuk diambil untuk memotong repressor praktek komunikasi ini. Kedua, Pembuatan UU Konsesus Publik. Dalam pengambilan kebijakan apapun, pelibatan semua pihak yang berkepentingan harus dilaksanakan demi keabsahan kebijakan. Tentunya hal ini harus difasilitasi dan diwadahi fasilitator yang berkompeten agar efektivitas pembuatan konsesus tetap terjaga.
Ketiga, Penguatan Civil Society, proses komunikasi yang efektif hanya bisa terlaksana dengan keberadaan masyarakat bebas represi yang bisa diajak berkomunikasi demi legitimasi sebuah konsesus. Masyarakat sipil telah bisa melepaskan diri dari sistem birokrasi-pasar serta memiliki hak dan ruang memperjuangkan nasibnya sendiri. Kebebasan berpendapat harus dijamin dengan tak ada lagi represi opini publik. Keempat, pendidikan deliberatif. Sebagai sebuah base struktur bebuah bangsa pendidikan merupakan elemen paling vital dalam pembentukan karakter serta identitas tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa peranan pendidikan orde baru memiliki konstribusi penting dalam menciptakan silence culture masyarakat Indonesia. Mitos kekuasaan yang masih kuat dalam budaya sebagian besar masyarakat mau tidak mau harus didekonstruksi dengan menekankan pada kekuasaan komunikatif.
Anarkisme ruang publik terkadang memuat diskursus-diskursus sampah sebagai wacana dominan. Kesengajaan menggerakkan opini publik terkadang juga menjadi kritik pedas terhadap pemikiran ini. Namun Habermas tetap percaya selama praktek komunikasi bisa berjalan dengan efektif maka anomali-anomali ini akan hilang dengan sendirinya. Ruang publik pun akan membersihkan dirinya sendiri dengan akal dan rasio akal sehat manusia selama represi komunikasi tersebut bisa dijaga. Tentunya tekad dan kesungguhan antara berbagai pihak birokrasi-pasar-society untuk mau duduk bersama serta berkomunikasi merupakan prasyarat wajib dalam menyelamatkan negara ini dari kegagalannya. (afz)
Lahir
Selalu tak mudah memulai kata untuk menulis tentangnya. Bukan karena sulit, hanya setiap rekam hidupnya terlalu sempurna. Seolah berebut untuk menempati kalimat pertama.
Atau mungkin akan lebih baik cerita dimulai dari sebelum kehadirannya. Arab awal abad keenam adalah cerita kelam sejarah manusia. Ayyam Al Arab, bukan sekedar kisah kelam hari-hari orang arab. Karena jangankan berhari-hari, melewati satu hari saja bagi mereka adalah berkah yang harus disyukuri. Karena hari saat itu telah menjelma menjadi sengketa, oleh ternak, oleh mata air, atau oleh padang rumput.
Perang 40 tahun antara Banu Bakr dan Banu Taghlib di Arab Timur laut, dimulai karena seekor unta betina yang tak sengaja terluka. Atau perang besar Dahis dan Al Ghabra antara suku ‘Abs dan Dzubyan di Arab tengah, hanya dipicu tindakan curang di pacuan, antara kuda bernama Dahis dan keledai bernama al-Ghabra. Keterbatasan dan kelangkaan gurun pasir menjadikan peperangan sebagai jati diri dan intuisi. Peperangan memang menjadikan nama pahlawan akan dikenang berabad kemudian, menjadikan kehormatan dan kewibawaan adalah segalanya, namun kemanusiaan menjadi tiada artinya.
Pun dengan tuhan mereka. Institusi patung dan berhala adalah agama Arab awal abad keenam, yang menjadikan tuhan sebatas sangkaan. Seperti di Hijaz saat itu, oleh Al-Uzza, al-Lat, dan al-Manat yang menjadikan anak panah sebagai panduan nasib mencari peruntungan, atau manusia sebagai korban untuk sesembahan. Paganisme menyempitkan konsepsi tuhan, kedangkalan selalu berhasil menjadikannya sebatas nama, nama menjadikannya sebatas harga diri semata, dan harapan yang terlalu berlebihan akan kehormatan telah sukses mengerdilkannya menjadi sebatas ritual.
Gelap terpekat adalah saat malam menjelang fajar. Bagi ahli kitab saat itu, mungkin keyakinan inilah yang membuat mereka masih percaya tuhan yang sebenarnya tidak tinggal diam. Rendah hati dan ketekunan dalam membaca kitab, menjadikan mereka berhasil mengenali nubuat. Mereka yakin seorang pembawa pesan akan datang.
Keyakinan dan ketekunan dalam penantian mereka berbuah kenyataan. Di tahun 571, hari yang dinantikan itu akhirnya tiba. Pembawa cahaya itu dilahirkan. Ajaran yang dibawanya kini merubah dunia, Michael Hart menempatkannya di urutan pertama daftar manusia-manusia yang paling berpengaruh.
Dan kini kita memperingati hari kelahirannya itu, dalam perdebatan. Beberapa orang menyebut peringatan itu berlebihan, sebagian yang lain mengatakan hal itu pantas dan harus dilakukan. Namun jika kita mau tekun dan tetap rendah hati seperti para ahli kitab itu, kita pasti bisa menangkap pesannya yang berbeda. Seperti pembawa pesan yang lain, ia hanya ingin seperti lilin. Rela meleleh untuk menerangi gelap, dan tak peduli meski tak banyak yang akan mengucap kata terima kasih. Karena baginya tuhan dan ajaran tak sekedar pada apa yang terekam dalam bahasa, dan kata-kata. (afz)
Membaca Derrida
Dalam ranah ilmu sosial, postmodernisme sebagai sebuah wacana maupun praktek diskursif, telah menjadi mode dominan dalam kehidupan intelektual dan praksis kita. Banyak teoritisi ilmu-ilmu social mencurahkan energi intelektualnya untuk mengkaji postulat-postulatnya, memahami para pengikutnya, dan tidak jarang pula yang menghabiskan energi hanya untuk mencela dan mencacinya.
Tentunya sangat tidak bijaksana jika seseorang begitu saja terperangkap dalam dogma apakah itu mendukung atau mencelanya tanpa memahami postmodern itu sendiri. Tulisan ini akan mencoba memaparkan pemikiran salah satu tokoh utama nya yaitu Jacques Derrida.
Bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dalam sebuah kehidupan sosial masyarakat. Hal ini menjadikan membaca dan menafsir menjadi hal yang selalu melekat dalam diri seorang manusia. Kebanyakan orang beranggapan sederhana bahwa bahasa adalah sesuatu yang taken for granted dan menjadi sesuatu yang netral. Namun sebenarnya pemahaman mengenai bahasa tidak lah sesederhana itu. Sebagai sebuah hasil konstruksi sosial, sistem dan tautan kata dalam bahasa sebenarnya menginterpretasikan tanda (sign.
Pemahaman mengenai keberadaan tanda dalam sebuah bahasa menjadi salah satu inti dari kajian filsafat yang memiliki pengaruh kuat di dalam ilmu sosial kontemporer. Bahasa tidak lagi dipahami sebagai sebuah media netral penyampai pesan, melainkan menjadi modus utama dalam kekuasaan sosial dan politik.
Salah satu pencetus awal bahasa sebagai unit analisa dalam metodologi filsafat adalah Ferdinand de Saussure. Saussure membagi tanda ke dalam dua komponen yaitu komponen bunyi (signifier/ penanda) dan komponen konseptual (signified/ petanda). Dalam hal ini, penanda merupakan suara yang atau tanda yang memiliki makna sementara penanda adalah aspek mental dari hal tersebut yang bersinggungan langsung dengan syaraf otak kita. Penanda memainkan asosiasi makna seperti ketika kita mengucap (menanda) sebuah apel, maka petanda berperan mengasosiasikan penanda itu ke dalam otak kita sebagai buah apel seperti yang kita pahami.
Meski begitu, penanda tidak mutlak menandai seperti itu. Sebuah tanda ‘terorisme’ yang pada awalnya merupakan tanda dari makna sebuah aktivitas seseorang atau kelompok yang meciptakan terror di masyarakat, kini tanda itu telah mengalami politisasi untuk membedakan mana sekutu dan musuh dari Amerika Serikat. Kaitan antara bahasa dan kekuasaan inilah yang menjadi landasan berpikir filosofisnya (dekonstruksi) yang memiliki pengaruh sangat kuat tidak hanya di ranah filsafat, tetapi juga ilmu sosial, arsitektur, dan budaya.
Jacques Derrida dikenal dengan pemikiran nya yang tidak hanya menjadi salah satu pilar dari kajian filsafat modern, melainkan juga “pencuriga” dan “perusak” tatanan-tatanan yang ada. Semua tatanan entah itu agama, filsafat, ideologi, social, dan budaya tidak luput dari serangannya. Selama ini, modernisme kita pahami sebagai sebuah proses untuk mencapai progresivitas kemajuan bagi umat manusia.
Nilai dan norma agama, filsafat, ideology, social, dan budaya saling berkelindan untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan termasuk dalam konsepsi manusia terhadap kebenaran. Gambaran dunia sempurna yang menjadi visi modernitas inilah yang dipertanyakan oleh derrida. Telah banyak fakta dari perjalanan sejarah umat manusia yang memperlihatkan ekses dan patologi dari modernism seperti perang dunia, bencana ekologi, kolonialisme, neo-liberalisme, ketimpangan, dan kemiskinan. Hal inilah yang menjadu salah satu landasan berpikir Derrida.
Bagi derrida, bukan kemajuan progresif umat manusia yang menjadi tujuan modernisme, melainkan despotism kemanusiaan yang mengingkari hakikat manusia itu sendiri. Misi ini diperankankan dengan baik oleh bahasa-bahasa modernitas. Curiga dan bahkan melepaskan diri dari modernitas menjadi hal yang wajib dilakukan untuk dapat lepas dari cengkeraman nya, dan mengembalikan esensi manusia dan kebenaran ke tempatnya. Dan dekonstruksi adalah cara untuk lepas darinya.
Dalam kajian strukturalisme, bahasa bisa ada karena adanya system perbedaan (system of difference) yang membedakan tanda satu dengan yang lain, dan oposisi biner adalah inti dari system perbedaan ini. Sistem ini pula yang menjadi komponen utama yang membentuk pemikiran filsafat barat seperti baik/ buruk, jiwa/ badan, dan makna/ bentuk, dimana makna pertama selalu lebih superior disbanding makna kedua. Inilah yang disebut logosentrisme yang kemudian makna pertama mempunyai hak istimewa untuk melecehkan makna kedua.
Dikotomi penyepesialan dan pelecehan makna bahasa ini berjalan paralel dengan yang terjadi dalam penentuan nilai kebenaran. Petanda kebenaran yang harusnya eksternal dari penanda kemudian menyatu dengan penanda dalam bahasa. Kesatuan bentuk petanda-penanda yang hadir bersamaan (metafisika kehadiran) inilah yang dikritik oleh derrida karena hal tersebut hanya bisa hadir dalam tuturan, bukan tulisan. Metafisika kehadiran merupakan metafora ideal sebuah kebenaran. Namun dalam kehidupan manusia hal adalah sesuatu yang utopis, karena kebenaran haruslah berasal dari penutur kebenaran yang benar-benar.
Ketika seseorang menulis sebuah teks, secara otomatis terjadi keterputusan hubungan antara sang penulis dan teks hasil tulisannya. Penulis tidak lagi mempunyai otoritas dalam menghadirkan petanda dalam tulisannya karena tulisan nya telah diserahkan kepada orang lain dan masa depan, sehingga makna dari penulis pada waktu menulis bisa jadi telah terputus karena orang yang membaca tulisan tersebut memiliki penafsiran sendiri dalam mengungkap penanda tersebut. Terlebih jika jangka waktu dalam penyampaiannya dari penulis ke pembaca cukup lama, distorsi makna bukan tidak mungkin akan terjadi.
Menurut Derrida, distorsi inilah yang terjadi dalam modernitas. Dalam diskursus ini, penanda dianggap sama juga dianggap memiliki petanda yang sama meskipun konteks semantik yang membentuk kedua orang tersebut berbeda. Oleh karena itu, Derrida mengajak kita untuk membuka kekakuan modernitas ini dengan dekonstruksinya.
Untuk memahami dekonstruksi terlebih dahulu memahami konsep differance. Difference merupakan sebuah pemahaman bahwa semua proses berpikir, menulis, dan berkarya adalah sebuah proses menelusuri jejak-jejak tulisan berupa permainan perbedaan-perbedaan, jejak dari perbedaan-perbedaan tersebut, dan penjarakan yang mengkaitkan antara unsure tersebut dengan yang lain.
Tulisan sendiri memiliki tempat yang istimewa karena merupakan prakondisi dari bahasa dan oral. Pemikiran tentang kebenaran pun tidak lebih dari pencarian jejak-jejak tersebut, sehingga otomatis menghilangkan makna transendental dari kebenaran itu sendiri. Semua kebenaran (petanda absolut) pasti memiliki jejak dibelakangnya. Hal ini menjadikan apa yang selama ini pasti ternyata adalah ketidakpastian, sehingga postmodernisme sendiri adalah permainan tentang ketidakpastian.
Postmodernisme menolak tentang konsep ada (being) sebagai sebuah basis ontologi filsafat. Metafisikia kehadiran (ada) yang menjadi basis menentukan kebenaran ternyata tak lebih dari metafora semu yang terus bergeser terus menerus. Segala macam logosentrisme dalam filsafat seperti tuhan, manusia, ide, empiris, dan rasio haruslah dibongkar ulang agar tidak terjadi tirani kebenaran yang tak jarang menjadi alat intimidasi kebenaran yang lain. Tak cukup dibongkar, kebenaran haruslah diberi tanda silang (sous rapture) agar tidak menjadi oposisi biner dari sebuah kekeliruan.
Banyak orang beranggapan bahwa memasuki ranah pemikiran Derrida adalah memasuki sebuah penjelajahan makna yang tak berujung. Hal inilah yang menjadikan seolah ujung dan tujuan akhir dari ke takberujungan penjelajahan postmodernisme adalah kerelatifan berpikir. Terlepas dari perdebatan tersebut, paling tidak Derrida telah membawa manusia untuk mempertanyakan kembali konsepsi kebenaran yang telah diyakini khalayak umum dan terus mencari kebenaran dibalik kebenaran, dan bukan tidak mungkin, meskipun Derrida skeptis terhadapnya, suatu saat kita bisa menemukan kebenaran absolut yang menjadi inti dari kebenaran.(afz)
Prophetic Leadership
Dalam kajian filsafat sejarah, messianisme merupakan sebuah paham atau pandangan mengenai kedatangan seorang juru selamat yang akan membebaskan manusia dari penderitaan yang dialaminya. Dalam berbagai literatur-literatur agama, determinisme akhir tahapan kehidupan manusia ditandai dengan adanya seorang juru selamat akan hadir memimpin segenap umat manusia, mengakhiri segala macam tatanan despotisme yang ada sekarang, lalu kemudian menghadirkan tatanan menghadirkan tatanan baru yang adil dan bahagia.
Dalam ajaran Yahudi ada sosok Manahem, agama Nasrani mempercayai turunnya Isa al masih, dan Islam percaya akan datangnya Imam Mahdi sebagai sang penyelamat zaman. Tradisi peradaban lokal juga mempunyai sosok penyelamat ini seperti dalam kepercayaan jawa mengenai kedatangan Ratu Adil atau pun Satrio Piningit.
Selama proses penantian sang juru selamat, manusia hanya bisa menunggu dan menerima begitu saja dipimpin oleh pemimpin seadanya. Sehingga keadaan krisis, kemiskinan, ketidakadilan, kesengsaraan, serta berbagai bentuk dekandensi lain merupakan sesuatu yang natural karena memang pemimpin tersebut dianggap hanya sebagai pengisi posisi pemimpin sebelum pemimpin yang seharusnya datang.
Dalam teori kepemimpinan modern, keberadaan pemimpin seperti diatas termasuk dalam the birth right myth. Mitos ini merupakan sebuah pemahaman yang berbahaya karena melahirkan skeptisme terhadap masalah kepemimpinan serta melahirkan kepercayaan bahwa pemimpin adalah dilahirkan bukan diciptakan. Yang menjadi pokok permasalahan disini apakah tidak bisa dielaborasikan antara kedua sudut pandang tersebut sehingga pendidikan kepemimpinan bisa menghasilkan sang juru selamat tersebut?
Dalam magnum opus nya yang terkenal yaitu 100 tokoh, Michael Hart menempatkan pemimpin-pemimpin keagamaan dalam tingkatan atas tipe pemimpin yang paling berpengaruh selama sejarah umat manusia. Dalam dua puluh besar tokoh tersebut, delapan tokoh diantaranya adalah pemimpin dan enam tokoh teratas adalah pemimpin agama. Mereka antara lain Nabi Muhammad (1), Nabi Isa (3), Sidharta Gautama (4), Kong Hu Chu (5), Santo Paulus (6), Nabi Musa (15), Kaisar Qin Shi Huang-Di (17), dan Augustus Caesar (19). Tentunya bukan tanpa alasan Michael Hart menempatkan pemimpin-pemimpin agama tersebut dalam urutan awal termasuk Nabi Muhammad dalam urutan pertama.
Sejarah telah membuktikan bahwa pemimpin-pemimpin tersebutlah yang paling sukses memimpin pengikut-pengikutnya menjadi peradaban yang paling berhasil sesuai konteks saat itu. Hal yang membedakan antara mereka dengan pemimpin-pemimpin politik lain di bawahnya adalah keberadaan visi kenabian. Aspek transendental kenabian inilah yang menjadi point penting yang menjadi penentu keberhasilan mereka, apapun ajaran yang mereka bawa.
Pemisahan aspek transendental inilah yang menjadi akar permasalahan kepemimpinan dalam pengertian modern. Hal ini diperparah dengan kepercayaan bahwa kehadiran seorang juru selamat adalah mitos. Mereka yang percaya terhadap mitos ini pun hanya bisa berharap dan menunggu hingga pemimpin ini hadir. Interpretasi ulang terhadap teks-teks teologi dan perluasan konsep serta teori kepemimpinan modern merupakan sebuah keharusan untuk menciptakan messiah-messiah ini.
Tentu saja untuk memahami mensyaratkan adanya rasionalisasi teks-teks teologi dan kemudian disesuaikan dengan konteks kekinian. Dalam ajaran Tasawuf klasik, setiap orang memiliki potensi (ruh) kenabian tersebut. Namun ruh ini perlahan terus meredup seiring dengan kepercayaan terhadap rasionalitas dan hal-hal empiris semata. Mengembalikan posisi kewahyuan dalam aspek kehidupan dan kepemimpinan harus dilakukan untuk menciptakan kepemimpinan bervisi prophetik ini. Tentu saja pemahaman bahwa visi prophetik ini hanyalah domain salah satu agama tertentu adalah pemahaman yang keliru, karena jiwa transendental pada hakikatnya ada dalam setiap ajaran dan melekat dalam diri setiap manusia.
Dalam teori-teori tentang peradaban, Indonesia sebenarnya memenuhi sebagian besar syarat untuk menjadi sebuah negeri yang berperadaban maju. Kekayaan alam yang melimpah, kekuatan sosial yang kuat, kondisi iklim yang menguntungkan, dan kepemimpinan yang kuat merupakan prasyarat-prasyarat utama terciptanya peradaban-peradaban maju dunia seperti Mesir, China, Mesopotamia, dan Yunani. Prasyarat terakhir lah yang tidak dimiliki oleh negeri ini sehingga ironi serta paradoks ini seolah selalu melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sehingga wajar jika permasalahan seakan menjadi sesuatu yang inheren di negara ini.
Rumitnya kondisi Indonesia bisa terlihat dari berbagai aspek. Hukum yang seharusnya menjadi landasan kehidupan bernegara terjerat dalam kepentingan politik. Mekanisme politik sebagai sebuah sistem pengelolaan negara ini menjadi ajang persaingan kepentingan ekonomi. Perekonomian yang seharusnya bisa menyejahterakaan rakyat Indonesia malah menjadi ajang kerakusan dan eksploitasi. Agama dan filsafat yang menjadi penjaga moral dan nilai keluhuran bangsa dianggap sebagai domain normatif semata. Para filsuf dianggap sesat oleh hukum agama dan teolog yang berteriak lantang dianggap sebagai pembangkang oleh hukum negara. Kepemimpinan prophetik merupakan satu-satunya opsi jalan keluar untuk memutus lingkaran setan ini. (afz)
Minzhu Nushen
Mungkin Hegel salah ketika menggambarkan sejarah sebagai ruh penggerak gerigi kehidupan, menuju pencerahan. Paling tidak bagi korban Tiananmen, baik yang meninggal maupun yang menjadi buronan, sejarah tak lebih dari masa silam yang direka, atau kenangan yang menghantui, atau harapan masa depan yang suram.
Sejarah memang mencatat, namun sebagian besar catatan tersebut sengaja dihapus atau dikarang ulang. Mereka yang berani, bahkan untuk sekedar mengingatnya, kerap dicap sebagai penjahat, penghianat, atau kontra revolusioner. Dan Tiananmen (pernah) menjadi saksi hal itu, roh sejarah yang menampakkan wajah suram dan tak ramah.
Lapangan yang didirikan tahun 1420 itu, awalnya dirancang sebagai simbol kebesaran dinasti Ming. Tianmaen yang secara harfiah berarti ‘gerbang kedamaian surgawi’, mungkin salah diartikan sebagai ‘gerbang stabilitas politik dan kekuasaan’. Dan mungkin juga karena itulah, lapangan yang harusnya berfungsi sebagai ruang publik, berubah menjadi ajang pembungkaman dan penghakiman bagi yang tidak sepakat dengan penguasa. Dan hal itu terbukti, pada tragedi Tianmaen 4 Juni 1989.
Kejadian itu dimulai beberapa bulan sebelumnya, pada April 1989, saat ratusan demonstran berkumpul di lapangan Tianmaen. Di tahun dimana angin kebebasan berhasil meruntuhkan tembok komunisme di berbagai belahan dunia tersebut, awalnya mereka di sana untuk memperingati kematian salah satu pemimpin mereka, Hu Yao Bang. Namun, ketidakpuasan terhadap korupsi dan perekonomian China, serta inspirasi kejatuhan komunisme di Jerman dan Uni Soviet, membuat jumlah demonstran terus bereskalasi. Jutaan orang, sebagian besar pekerja dan mahasiswa, selama tujuh pekan terus membanjiri Beijing, berharap untuk sebuah perubahan. Di Tianmaen mereka menggelar unjuk rasa, melakukan mogok makan, mendirikan tenda, dan membuat sebuah patung untuk mempertegas komitmen dan tujuan mereka.
Dua puluh tiga tahun yang lalu, Minzhu Nushen, patung dewi kebebasan itu pernah berdiri kokoh di tengah belantara lautan manusia di lapangan Tiananmen, tepat berhadapan dengan potret Mao, pemimpin besar China. Namun, ikon yang melambangkan demokrasi dan harkat manusia yang bebas itu, hanya sanggup berdiri selama lima hari. Angin perubahan tak mampu merobohkan kokohnya tembok besar komunisme China.
Pada 4 Juni 1989, sang dewi itu tumbang bersamaan dengan meluruhnya lautan manusia yang berubah menjadi lautan darah. Tentara Pembebasan Rakyat (People Liberation Army) memasuki kota, menyerbu dan menembaki demonstran. Batalyon tank melaju ke tengah lapangan, tanpa ampun melindas para demonstran yang tidak mau membubarkan diri. Teriakan kebebasan berubah menjadi jerit ketakutan. Hari itu, militer memang diperintah untuk membubarkan para demonstran yang diberi tenggat waktu hingga pukul 06.00 pagi.
Dan militer berhasil menjalankan misi tersebut. Ratusan orang, meski tak diakui pemerintah China, mati.
Namun kematian mereka tak menjadi sia-sia. Oleh mereka, Tiananmen menjelma menjadi tak sekedar sebuah lapangan, melainkan juga ranah pertarungan ingatan. Dimana ruh sejarah bertarung sengit dengan mereka yang ingin membungkamnya.
Dan kini patung tersebut memang telah runtuh. Namun bagi sebagian orang, Minzhu Nushen sampai kapanpun akan tetap tegar berdiri di lapangan tersebut. Dan mungkin hanya dengan keyakinan itu, kelak ia benar-benar bisa berdiri lagi di sana. Memenuhi janji menjaga harkat dan martabat manusia. Serta mengingatkan Tiananmen pernah benar-benar menjadi pintu kedamaian surgawi, lewat kematian.(afz)
Subscribe to:
Posts (Atom)