Drone
Posted by
Noor Afif Fauzi
Masa depan strategi perang tengah memasuki babak baru. Revolusi teknologi dalam militer menghadirkan persenjataan berteknologi tinggi menjadi salah satu isu utama selain selain tentang senjata konvensional dan nuklir. UAVs (Unmanned Aerial Vehicles), yang selanjutnya disebut dengan drone, menjadi salah satu pokok perhatian utama dunia akhir-akhir ini.
Penggunaan secara masif pesawat tanpa awak tersebut oleh Amerika Serikat (AS) dalam berbagai operasi militernya, meskipun dianggap (terutama oleh pemerintah AS) sebagai strategi yang cukup efektif dan efisien dalam medan perang, menghadirkan kontroversi dan kritik dari banyak pihak.
Mengenai hal tersebut, menarik untuk disimak statemen Ben Emmerson- investigator PBB tentang terorisme dan HAM- dalam laporan resminya setelah investigasi yang dilakukan di Pakistan selama tiga hari mengenai efek drone pada pihak sipil selama operasi militer AS melawan terorisme.
Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (Maret 2013) tersebut, ia mengatakan bahwa penggunaan pesawat tanpa awak oleh militer AS dilakukan tanpa ijin dari pemerintah Pakistan dan menyimpulkan dengan tegas bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan dan integritas wilayah Pakistan. Selain melanggar hukum, praktek penggunaan tersebut juga menimbulkan trauma dan kerugian yang cukup parah pada warga masyarakat di wilayah tribal Pakistan.
Pasca serangan 11 September, penggunaan pesawat tanpa awak meningkat secara masif terutama di wilayah operasi militer AS. Selama ini, drone memang menjadi salah satu faktor terpenting dalam kesuksesan perang AS melawan terorisme. Di beberapa negara seperti Pakistan, Afganistan, Yaman, dan Irak, pesawat tanpa awak tersebut menjadi garda depan serangan dalam menghadapi para kombatan.Namun di sisi lain, banyaknya baik korban maupun kerugian di pihak sipil serta pertanyaan tentang legitimasi hukum internasional penggunaan pesawat tersebut di wilayah kedaulatan negara lain menimbulkan kontroversi tersendiri.
Fokus perdebatan mengenai drone paling tidak dapat diletakkan dalam dua kutub argumen: strategis dan humanitarian. Aspek strategis melihat sisi positif dari penggunaan senjata tersebut. Tak dapat disangkal peran drone dalam meningkatkan daya gentar serta fungsi efektif dalam infiltrasi, pengintaian, maupun penyergapan dalam sebuah operasi militer. Dalam asymmetric warfare menghadapi musuh yang menyebar dan berada diluar jangkauan pasukan konvensional, penggunaan drone dianggap sangat efektif dalam menghancurkan target di pihak lawan. Selain itu, relatif murahnya biaya pengoperasian serta kemampuan meminimalisir korban prajurit dianggap sebagai faktor pendorong penting penggunaan senjata tersebut. Hal inilah yang menjadikan drone menjadi tren dalam persenjataan militer terkini.
Segi etika dan moral menjadi pertanyaan dari aspek humanitarian. Alih-alih menyerang sasaran, dalam prakteknya penggunaan drone sering menyasar target yang salah. Tidak sedikit warga sipil termasuk wanita dan anak-anak maupun bangunan umum seperti tempat ibadah yang menjadi korban salah sasaran. Tindakan membunuh seseorang tanpa melalui prosedur peradilan yang jelas juga menjadi pokok perhatian dari aspek ini. Anggapan bahwa drone masih terus berkembang dan di masa depan senjata tersebut akan jauh lebih presisi dalam melumpuhkan lawan dianggap bukan jawaban yang memuaskan. Pertanyaan lain yang mengemuka adalah tentang siapa yang harus dituntut ketika suatu negara akan membawa masalah ini ke mahkamah internasional.
Di bawah pemerintahan Presiden Obama, yang mendapatkan hadiah nobel perdamaian pada 2009, bukanlah jaminan bagi AS untuk mengurangi penggunaan drone dalam medan perang. Penggunaan senjata tersebut, seperti di Pakistan, malah meningkat melebihi penggunaan pada era sebelumnya. Tuntutan pengurangan pasukan serta pengetatan anggaran militer membuat penggunaan drone sebagai cara pragmatis namun tetap efisien dan mematikan dalam menumpas terorisme.
Namun yang ironis, wacana penggunaan pesawat tersebut di dalam negeri AS malah mendapatkan tentangan dari berbagai pihak karena permasalahan moral. Hal ini selain menunjukkan bias kebijakan juga menimbulkan pertanyaan tentang standar ganda AS tentang prinsip moral.
Di masa depan, penggunaan drone dan berbagai jenis senjata ‘robot’ lain tampaknya akan semakin meningkat. Saat ini, ketiadaam rezim internasional yang menjadi payung legitimasi dan pengawasan terhadap penggunaan senjata tersebut dianggap sebagai salah satu faktor utama terjadinya ekses dalam penggunaannya di lapangan. Meningkatnya perimbangan penguasaan teknologi tersebut oleh negara lain seperti China membuka harapan terwujudnya rezim ini akan mungkin terealisasi. Dalam waktu dekat, tuntutan transparansi serta kejelasan proses dalam penentuan tersangka terorisme paling tidak akan memberi kepastian dan peningkatan pengawasan publik dalam mengawasi penggunaan senjata ini.
Berbagai ekses penggunaan terhadap warga sipil dan pelanggaran kedaulatan negara lain oleh drone militer AS memang menjadi fokus perhatian pada saat ini. Namun harapan agar masalah ini dapat dibawa ke ranah hukum seperti ke mahkamah internasional, tampaknya masih jauh dari harapan. Namun statemen keras yang dikeluarkan Emmerson sebagai salah satu ofisial PBB cukup untuk menjaga harapan isu ini akan dibawa ke forum yang lebih tinggi seperti di Majelis Umum PBB. Perimbangan wacana kritis terhadap isu ini, baik oleh kalangan jurnalis maupun akademis, juga diharapkan dapat meningkatkan tekanan pada pemerintah AS untuk memberi perhatian pada aspek moral penggunaan senjata ini.
Noor Afif Fauzi
gambar diambil dari sini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment